Custom Search

Cerita Pendek dari Pertibi Simalungun

SONY DSC

David E. Purba Tua

oleh: David E. Purba Tua

 

Sungai Bah Bolon* mengalir dengan anggun. Bersama turunnya embun pagi, kesejukan pun menyebar ke semua arah. Hutan dan bumi adalah rumah kami, sahabat yang melindungi kami dari kemuliaan sang Surya. Meski, dari sang Surya sendirilah berasal kekuatan untuk tubuh dan pikiran kami agar bisa meneguk aliran sungai kehidupan ini dengan bebas.

Ini adalah kisah tentang kami.

Kisah yang merupakan gambaran kehidupan itu sendiri. Bermula dari sebuah sudut lembah yang terhampar luas, sejuk dan indah. Anak Manusia menyebutnya surga di bumi!

lembah subur 2

Entah sudah berapa masa kehidupan kami tinggal di sini, bersama ayah dan ibu. Mereka juga adalah ayah dan ibu kita semua, orang tua kalian. Orangtua manusia…

Tolong…, janganlah lupakan kisah ini. Ini adalah kisah tentang kita.

Seiring perjalanan waktu, semenjak peristiwa itu, ketika kami mulai membangun batas-batas rumah, pekarangan dengan tembok kokoh, segala kepemilikan dengan: “Ku, Ku, Ku…” Gerigi-gerigi roda pertengkaran saling berkelindan, mendesak kami. Menyandera sesama kami. Kami, tujuh bersaudara telah disergap keangkuhan.

 

lembah subur 3Lembah tua yang indah ini, tidak lagi damai bagi kami. Sesungguhnya semua ini kami warisi dari kedua orangtua kami. Usia kami tak terhitung oleh ingatan manusia lagi. Ibu – Sang Waktu, telah memberkahi kami agar selalu terlihat bagai kanak-kanak. Ada yang menyebut kami anak-anak Sang Waktu.

Ketahuilah, kalian adalah anak cucu kami. Kalian memang telah berdiam di setiap jengkal sudut bumi ini. Adakah kalian tahu dan ingat hal ini, wahai anak-cucuku?

Kami, tujuh bersaudara pun telah tersebar di seluruh penjuru arah! Semua ini disebabkan keangkuhan dan pertengkaran itu…

Wahai anak-cucuku, dengarkanlah kisah ini.

Ketika itu…

Pada masa kami masih kecil dan polos, ayah dan ibu sering mengajak kami bermain di sini, di lembah ini. Itulah saat terindah bagi kami. Mereka berdua adalah dewa-dewi kami. Senang sekali bisa mempersembahkan tujuh rupa kembang dan buah-buahan bagi mereka berdua. Tidaklah sulit melakukan itu, sebab kami sangat disayang Ibu Bumi. Ibu Bumi yang cantik dan senantiasa bermurah hati.

Ibu sering menyusui kami dengan cerita-cerita surgawi. Anehnya, setiap tokoh yang diceritakan, kerap hadir mengunjungi rumah kami. Mereka hadir! Mewujud! Hingga kami tidak bisa membedakan mana yang khayal atau nyata.

 

Mahkluk surgawi

Ibu berkata, “Dengan Cinta, Ia Yang Maha Misterius dapat hadir melalui selaksa wujud. Tinggal haturkan sejumput kembang, setetes wewangian dan seikat lantunan kidung Cinta.” Demikian Ibu dan Ayah sering berpesan.

Setiap kunjungan mereka, para manusia cahaya, mahkluk yang kerap diceritakan Ayah dan Ibu, mereka senantiasa memberi kami berbagai kepandaian, hiburan dan kesukaan lainnya. Semuanya diberikan karena kasihnya pada kami.

Hingga kami tak sadar, pada suatu ketika… sebuah “Permata Berwarna Pelangi” tersembur dari dalam perut bumi.

Lalu apa yang terjadi?

Permata Pelangi2

Kami memperebutkannya. Entah kenapa, tiba-tiba muncul keegoisan, keangkuhan di kepala kami. Padahal kami tidak mengenal apa itu friksi, perpecahan, perbedaan, ketamakan sebelumnya. Namun, sejak itu semuanya perlahan berubah. Padahal hal itu tidak pernah mengganggu pikiran kami.

“Ini ‘milikku’.”

“Itu ‘karenaku’,” suara-suara kami saling menengking dan beradu.

Ibu berusaha mengingatkan. Tetapi kami berkilah, “Tak apa-apa, Bu. Biarlah kami tetap bermain.”

Menurutku itu hanyalah sebuah batu kecil yang tidak berharga. Bentuknya saja tidak sebanding dengan emas dan permata lainnya yang begitu indah dan mudah kami dapatkan. Kami terus mempermainkan benda aneh itu. Tanpa kami sadari benih ketidakpercayaan mulai menjalar, dan menggenang di dasar hati. Pikiran menjadi haus akan segala kekayaan. Benda-benda itu menjadi bermakna lain. Padahal selama ini kami mempersembahkan emas dan berlian mulia bagi ibu dan ayah begitu mudahnya. Kini, benda itu semua kami simpan dan perebutkan. Inilah awal perpisahan kami. Kami pun hidup hanya untuk urusan memperebutkan Permata Pelangi itu.

tumpukan permata

Itulah penyebab utama semua kejadian ini. Ibu dan ayah kami, kita, sedih.

Berbagai cara kami tempuh ‘tuk menyembuhkan penyakit ini. Namun gagal, karena kami berkeinginan lain. Pandangan kami mulai kabur. Seiring dengan langkah-langkah sang Waktu yang kadang cepat dan lambat, penglihatan kami perlahan tidak bisa lagi menyadari kehadiran ayah-ibu.

Sayup-sayup terkadang langkah kaki mereka terdengar. Setitik embun kerinduan membasahi kaki kanan kami untuk mencari, mengejar mereka. Mereka raib.

Ke gunung, tepi pantai, samudera, ke kota-kota megah yang pernah kami dirikan pun tidak ada. Ayah-ibu tidak ada di sana.

Dimanakah engkau Ibu? Ayah… ?

Kami mulai saling menyalahkan. Peperangan kerap terjadi.

Inilah asal muasal kenapa kami mendirikan benteng di depan rumah kami masing-masing. Sudah tidak ada lagi manisan ‘saling percaya’ di antara kami.

Pasukan_Prajurit_

Marak sudah perdagangan “informasi” akan keberadaan ibu dan ayah.

Anak cucu pun sulit dipercayai. Karena mereka sendiri belum pernah bertemu makhluk surgawi yang berwajah cahaya itu.

Remah kenangan indah itu kami bawa jauh hingga ke dalam kumparan permainan sang Kala. Hanya itulah harta yang kami miliki. Ketakutan pun mulai timbul karena kalian, anak-cucu kami pun mengincar Permata Pelangi juga. Tampaknya kalian lebih rakus dan buas dibanding kami. Terkadang licik. Bagai kawanan hewan yang baru menjadi manusia saja. Kalian menuding kami dengan tuduhan yang aneh-aneh.

“Kalian mahkluk tak bertuhan.”

“Pendusta tiada banding!”

“Kalian hanyalah mahkluk khayalan!”

Hati kami terbakar. Selaksa duka memikul pijar-pijar api berderap keluar dari sudut mata, menuruni pipi kami yang gelap.

Kami tujuh bersaudara terjatuh ke jurang pikiran terdalam, gelap dan hampa. Satu-persatu saudara-saudaraku tertatih meninggalkan lembah indah ini, ‘tuk mencari keberadaan ibu dan ayahb. Mereka mencarinya lewat jalan ciptaan masing-masing. Tinggallah aku sendiri yang tersisa. Aku tak kuasa meninggalkan lembah sejuta kenangan ini.

aku dan semesta

Suatu ketika aku memberanikan diri mendaki bukit perbatasan menyaksikan anak cucu kami di seberang seribu gunung. Bilah-bilah air mata yang tersisa jatuh membasahi pipiku. Di kejauhan, aku melihat awan hitam menggantung di langit biru. Kadang langit memang terlihat biru, bening dan kadang berawan, ah… sudahlah, itu tidak penting. Aku melanjutkan perjalananku saja.

Aku menyaksikan Dvipantara dinaungi awan gelap kebodohan. Kusaksikan saung-saung tempat kami biasa menjamu ibu dan ayah kini tidak dihargai lagi. Tanduk Banua, Gunung Mariah, Dolog Singgalang, Muara Jambi, Kuil Sipamutung, Borobudur, Prambanan, Dieng… hanya dianggap batu bisu semata.

“Berhala!!!!!!” kutuk mereka…

“Bodoh,” tangisku dalam hati. Aku sadar semua ini karena kesalahanku juga.

Mereka menganggap diri mereka ‘keturunaan’ dari saudara kami dari benua lain. Padahal aku di sini di antara yang tersisa masih berdiri menanti. Akulah nenek-moyang mereka. Bagaimana ini bisa terjadi? Semua telah mereka bumihanguskan. Mereka membenci masa lalunya. Generasi terdahulu telah mereka campakkan sebagai mahkluk tak bertuhan. Meski hukuman telah mereka terima; umur pendek dan kebutaan hati.

Tidak apa.

Kebenaran toh bersemayam di segala penjuru. Tak apa, asal mereka masih memiliki niat hendak mengundang manusia berwajah cahaya itu. Kucoba memberitahu, bahwa mereka masih memiliki darah yang dibalut kulit yang pernah bersentuhan dengan kulit lembut, Ibuku. Namun aku dikatakan ngawur, pendusta, dan gila.

“Kalian adalah anak-anak pelangi yang bercahaya!” seruku.

“Kita bisa memperbaikinya asal permata pelangi yang kalian simpan itu dibuang…” teriakku membahana bersama angin yang sulit menembus masuk telinga mereka yang menganga.

Tak seorang pun mendengarnya.

Mereka asyik bermain dalam kubangan lumpur ketaktahuan. Mereka memuja tokoh-tokoh pujaan yang berkulit dan berjubah asing saja. Mereka lupa…!!!

bromo

Uuh, aku melangkah gontai menuju puncak bukit menunggui ayah-ibu agar sudi menuntun tanganku lagi.

Aku merindukan mereka!

Tidak. Tidak… Yang kutunggui adalah kebaikan ayah dan ibu agar berkenan membuka selaput penutup mata anak-cucunya, agar ingat siapa mereka sebenarnya!

Bah Bolon’ masih mengalir dengan anggunya… 

*Bah Bolon, nama salah satu sungai di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara.

Depok, Februari, 2012