Ahap Simalungun Sebagai Jati Diri, Ciri dan Pemersatu Suku Simalungun dalam Menghadapi Berbagai Persoalan
oleh: David E. Purba Tua
Sanina, botou pakon haganup orangtua nami na hinaholongan.
Domma buei hasoman na mambere pandapot atap penafsiran pasal aha do na imaksud “Ahap Simalungun” ai. Halani ai, marsuttabi ma lobei hanami halani sihol namin diri homa mambere pandapot atap penafsiran pasal “Ahap Simalungun” on.
***
Neosimalungunjaya.com – Inilah salah satu penafsiran makna Ahap Simalungun oleh David E. Purba Tua. Selanjutnya mari kita simak apa penjelasannya.
Pada komunitas Suku Simalungun yang menempati Kabupaten Simalungun, Kotamadya Pematang Siantar serta wilayah lainnya yang dulunya dibuka oleh leluhur Simalungun – di provinsi Sumatera Utara, ada ungkapan yang akan sering kita dengar di sana, yaitu: Ahap Simalungun. Apakah artinya?
Makna Ahap dan Hasimalungunon…
Pertama-tama saya akan mencoba mendefinisikan apa arti “ahap” ini menurut sepenangkapan saya. Pertanyaan sentralnya, apa sebenarnya maksud kata “ahap’ ini?
Menurut pemahaman saya (yang masih harus belajar banyak tentang hasimalungunon), AHAP merujuk pada ‘sesuatu’ yang inheren terdapat dalam diri seorang anak manusia. Mangahap – merasa-rasa. Ahapkon lobei – coba dirasa-rasa. Sesuatu yang bersifat abstrak, namun ada di sana… di dalam diri manusia. Sesuatu yang sifatnya tidak material, namun spiritual. Dikatakan bersifat spiritual karena melampaui mental-emosional yang sifatnya naik-turun, tidak stabil, subjektif. Namun ‘ahap’ di sini adalah sesuatu yang melampaui kepentingan badan, materi, dan perasaan. Sesuatu yang bila ‘dirasakan’, ‘dialami’, ‘diakses’ atau berada di dalamnya, maka kita akan melampaui ke’egois’an kita, kita kemudian mengidentikkan diri kita dan orang lain SATU dalam kemanusiaan – universal.
Pada tataran fisik kira-kira di manakah letak (imajiner) nya? Jika saya menggunakan tangan kanan saya untuk mencarinya, maka spontan melekat pada dada, ia akan beradi di titik di tengah dada – tepat di tengah. Maka di situlah letak ‘imajiner’ ahap yang melampaui sekedar ‘perasaan’ atau emosi. Namun penunjukan itu sungguh sangat simbolik. Banyak para mistikus, pejalan spiritual, Resi, Mpu, Oppu, menyebut titik tengah dada itu sebagai letak Hati – dalam arti simbolik, yang sifatnya universal – menggambarkan apa itu yang sering kita sebut ‘hati nurani’,’budhi’. Pandangan ini akan kita temukan bila kita berkenalan dengan kearifan lokal Nusantara.
Dalam bahasa Kundalini Yoga, ‘hati nurani’ itu dinamakan “Anhat Cakra”, cakra keempat – letaknya persis di tengah antara kedua ‘puting susu’ yang dimiliki setiap manusia. Titik sentral pengendalian sistem hormon juga di sana letaknya. Ketika kita merasa BAHAGIA titik tersebut terasa hangat dan memancarkan kelegaan dan kesatuan dengan alam.
“… “Anhat” berarti “Suara yang Tak Terdengarkan”. Yang dimaksud adalah hati nurani kita. Suara hati yang tak terdengarkan tetapi terasakan. Cakra ini mengantarkan kita pada kesadaran Kasih,” demikian menurut Spiritualis Anand Krishna. Dikutip dari: Kundalini Yoga, Dalam Hidup Sehari-hari, Edisi Perluasan, Anand Krishna, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2000, hal. 92.
Dan masih di halaman yang sama, pada halaman 92, pada buku tersebut, Anand Krishna, melanjutkan penjelasannya, “… Berada pada tingkat Kasih, Anda sudah tidak menempatkan kepentingan pribadi di atas kepentingan orang lain. Anda tidak bisa merugikan orang lain demi keuntungan pribadi.”
Dalam pemahaman Yoga, manusia memang memiliki lapisan kesadaran, yang ditandai dengan adanya posisi ‘cakra’ sebanyak 7 ‘keadaan’. Cakra pertama sekitar anus, kedua sekitar alat kelamin, ketiga sekitar pusar, keempat di sekitar dada, kelima sekitar tenggorokan, keenam di tengah kening, ketujuh di atas ubun-ubun – cakra mahkota.
Sengaja saya mengutip penjelasan dari Kundalini Yoga – Peningkatan kesadaran lewat disiplin Yoga – agar memperkaya wawasan kita, yang diambil dari dimensi Spiritualisme Timur. Sebagai tambahan ketujuh lapisan itu bukanlah tingkatan akan tetapi lebih tepatnya di sebut ‘state’ – keadaan, kesadaran manusia yang tidak berdiri sendiri. Artinya setiap manusia akan senantiasa dipengaruhi oleh keadaan ketujuh lapisan kesadaran itu. Di sini saya tidak akan membahas satu persatu maknanya.
Namun, izinkanlah saya terlebih dahulu menyimpulkan, setidaknya menurut pemahaman saya, di mana letak ‘imajiner’ dari “ahap” itu.
Mar-ahap, berarti hal ini sedang menunjukkan pemaknaan akan ‘KEADAAN’ seseorang sedang berada di mana kesadarannya. Seperti sudah kita kutip di atas, Ahap itu menandakan keadaan kita berada pada sifat hakiki manusia yang sejati – bukan dikuasai sifat hewani lagi. Artinya berada pada keadaan mar-‘ahap’ berarti kita sedang menyatu dengan sifat-sifat manusia yang universal dan spiritual. Namun perlu kita perhatikan bahwa tidak semua sifat yang universal itu bersifat spiritual. Misal, keegoisan, ketamakan, arogansi kelompok, arogansi keluarga, arogansi suku juga berlaku universal namun tidak spiritual. Itu bedanya!
Kembali pada Makna Ahap…
Setidaknya ini pula sumbangan halak Simalungun, suku Simalungun adanya perbendaharaan kata ‘ahap’ yang merujuk pada sifat manusia universal dan spiritual – merujuk pada: kesadaran, cinta-kasih, melampaui ‘ego’ sentris, adanya kesadaran akan persatuan dan kesatuan sesama manusia dan alam lingkungannya. Dalam bahasa Anand Krishna lagi – ini dinamakan ‘state’ Transpersonal – melampaui ego personal.
Mar-ahap berarti manusia telah berada pada kesadaran hakikinya yakni; berada pada lapisan cinta yang mempersatukan dan disatukan. Tak ada lagi keinginan untuk mengkotak-kotakkan manusia yang memiliki latar belakang beragam. Hubungan dengan sesama tidak lagi didorong hanya karena urusan perut semata, seks semata, kenyamanan diri semata – ini hanya menyangkut urusan cakra 1,2 dan ke-3 saja. Berada pada cakra ke-1 hingga 3, manusia itu hanya akan memikirkan keuntungan, kesenangan dirinya saja, keluarganya saja, kelompoknya saja tanpa mengindahkan norma-norma sosial yang berlaku umum. Di sini tidak berlaku ungkapan: “Jangan lakukan hal yang tidak kamu inginkan kepada orang lain, jika kamu tidak ingin diperlakukan dengan hal yang sama…”
Ketika saya menyinggung kata Cinta dan Kasih, sesungguhnya kedua kata tersebut telah berlaku umum pula, keberadaan kata itu terdapat pada semua ‘agama’ dan tradisi di dunia. Mungkin ungkapannya saja yang berbeda.
Nah, mar-ahap dapat kita simpulkan sebagai kondisi di mana pikiran, ucapan dan jiwa kita berada dalam dimensi cinta dan kasih. Kita ‘merasa’kan persatuan dan kesatuan dengan sesama manusia. Pandangan kita sudah terbebaskan dari sekat-sekat pemisah yang diakibatkan dogma agama, filsafat, kepentingan pribadi, kepentingan kelompok, keserakahan, ketamakan, tipu muslihat dll… hanya demi diri sendiri. Tidak. Tetapi kita telah ‘merasa’kan kemanusiaan itu sendiri. Inilah yang disebut Simalungun na marahap…
Simalungun, Hasimalungunon…
Sekarang mari kita mencoba memahami ‘ahap’ dalam konteks ‘warna’ Simalungun atau Hasimalungunon. Lalu apa maksudnya?
Ketika kita bicara Simalungun atau hasimalungunon maka hal pertama yang kita ingat secara spontan yang menandakan adanya Suku Simalungun itu adalah: Bumi, Tanah dan Airnya (Pertibi – pertiwi). Pengaruh ketiga hal inilah yang sangat memengaruhi kelahiran kekhasan Suku Simalungun itu! Jangan lupakan ini.
Lalu hal kedua adalah hasil interaksi manusia – halak Simalungun, yang hidup di atas tanah-air miliknya sebagai Sipukkah Huta (penduduk awal) adalah Budaya dan kebudayaannya. Budaya dan kebudayaannya mencakup teknologinya, tradisinya, keyakinannya, kebiasaan hidupnya dll.. Mencakup unsur material dan spiritual – hasil pengalaman panjang. Meskipun bersifat kontekstual dan terbatas dalam wilayah geografis, namun ‘Ahap Simalungun’ itu telah menempatkan kemanusiaan di atas rasa ‘kekeluargaan’ Suku Simalungun yang nota bene juga berlandaskan Kasih – holong ni atei. Holong atei (Cinta kasih) Halak Simalungun yang menjadi ciri khas mereka.
Tentu budaya dan kebudayaan suku Simalungun berbeda cara pengungkapannya, ekspresinya dibanding dengan suku-suku lainnya di Nusantara. Dan warna khas itu memiliki bahasa, jiwa universalnya – lewat budaya yang masih relevan, ‘etos kerja’ yang menonjol dan relevan yang menunjukkan ‘api’-nya Halak Simalungun.
Suku Simalungun Punya Cara Tersendiri Mengekspresikan
Religiositas dan Nilai Kemanusiaan di Atas Kepentingan Kelompoknya…
Itulah Ahap Simalungunan itu. Inilah sejatinya kalau bicara soal Hasimalungunan; Ahap. Meskipun Hita Halak Simalungun tidak bisa mengabaikan sifat-sifat negatif atau pandangan steriotif yang melekat pada kita, seperti; latei, domdom, rendah diri dll … (ini disebut imbalance – sifat imbangan alamiah pada setiap manusia). Dan sesungguhnya sifat negatif ini pun dimiliki suku lain. Maka, hanya setelah memiliki Holong Ni Atei-lah (Cinta Kasih), Hati Nurani, setiap halak Simalungun mampu membebaskan dirinya dari sifat buruk, negatif itu yang diakibatkan trauma dalam perjalanan sejarah panjangnya.
Di sini kita tidak tepat menggunakan istilah berpikir positif tersebut. Kedua sifat itu (positif dan negatif) riil adanya. Mengabaikannya berarti, menanam, mengubur, memendam sifat negative tersebut, yang sewaktu-waktu akan meledak – dapat menghancurkan diri kita sendiri. Sikap sejati yang bisa kita lakukan adalah membakarnya dengan ‘api’ Ahap tadi. Marilah kita bakar habis sikap, sifat negatif tadi dengan api cinta, kasih – holong ni atei.
Ahap Identik sebagai Kesadaran kemanusiaan…
Merasakan ke-ahap-an berarti meningkatkan kesadaran untuk melampaui pengaruh cakra 1,2 dan 3 tadi. Sifat mau menang sendiri demi kepentingan diri, kelompok dan keluarga bukanlah sifat manusia – itu adalah sifat binatang. Artinya memasuki ‘ahap’ berarti evolusi kita sebagai manusia telah berjalan mulus, tidak mandek. Kita telah BERTEMU dengan sesama manusia pada lapisan cintakasih – holong ni atei. Inilah hakekatnya. Hubungan sosial berlandaskan cintakasih, gotongroyong tanpa adanya sikap rasisme. Luar biasa leluhur Simalungun yang telah mengidentikkan asal-muasal nama Simalungun dengan ‘ahap’ ini. Ahu bangga gabe halak Simalungun!
Jadi Ahap Simalungun…?
Kembali lagi pada pemaknaan Ahap Simalungun. Artinya Suku atau Halak Simalungun sebagai Sipukkah Huta telah menempatkan nilai-nilai universal kemanusiaan yang adil, beradab, setara, keharmonisan di atas kepentingan dirinya, kelompoknya – di atas pondasi nilai-nilai tradisi yang berlaku di daerahnya. Budaya dan Kebudayaan Simalungun itu tidak bertentangan dengan nilai-nilai universal, Pancasila, UUD 45 dan NKRI.
Bukti-bukti relevansinya dapat kita temukan pada ungkapan-ungkapan khas halak Simalungun, pada kearifan lokalnya, tradisinya – yang telah merekam cara halak Simalungun berinteraksi dengan sesama dan alam lingkungannya. Parameternya adalah adanya nilai: kebersamaan, kesetaraan, kejujuran, kerendahan hati, ketulusan, kedermawanan, keharmonisan, ketenangan, kemurahhatian, cintakasih dalam budaya dan kebudayaannya – yang tergambar dalam sifat kegotongroyongan, sistem kekerabatannya – Sapangambei Manoktok Hitei.
Lalu, berada pada kondisi ‘ahap’ – ‘state’ ahap, berarti sifat-sifat hewani yang mau menang sendiri itu telah ditinggalkan, harus diabaikan jika berhadapan dengan kepentingan yang lebih mustahak, lebih besar. Dalam hubungan sosial kemasyarakatan suku Simalungun nilai kesetaraan, kebersamaan, keharmonisan merupakan Orientasi Tertinggi yang harus diutamakan, dituju, diperhatikan.
Manusia – jolma na Mar-ahap Simalungun berarti ia telah berbadan dan berjiwa manusia. Bukan berbadan manusia tetapi jiwanya masih hewani. Mar-ahap berarti, pikiran kita jernih, tidak buram, tidak serakah, tidak egois, tidak ekstrim, tidak menganggap diri paling benar. Inilah pertanda telah mar-ahap. Agamaku tidak lebih baik dari agama anda. Margaku tidak lebih baik dari marga anda. Kampungku tidak lebih baik dari kampung anda. Sukuku tidak lebih baik dari suku anda dll.. Tentu tanpa mengabaikan jati diri juga – paradoks. Inilah pemahaman saya jika sudah mar-ahap. Bahkan ahap ini pun pastilah dikenal di suku-suku tetangga, tentu dengan bentuk kata yang berbeda, namun jelas maksud dan pengertiannya masih beresensi sama.
Selanjutnya, masih menurut pemahaman pribadi saya, jika kita kaitkan dengan pemahaman Kundalini Yoga, seseorang yang telah mar-ahap berarti ia tengah mengakses cakra ke-4 hingga ke-7. Pencapaian ini telah diformulasikan dalam banyak tradisi suku Simalungun seperti yang sudah kita jelaskan di atas. Artinya adalah, seseorang yang MAR-AHAP adalah ia yang telah melampaui kehewanian dirinya, pikirannya telah jernih, ia telah berbudhi. Kesadarannya sudah pada kesadaran Kasih. Hanya kesadaran Kasih yang bisa membersihkan insting hewani.
Mari kita kutip ungkapan yang pernah disampaikan para Leluhur Simalungun:
Sin Raya Sini Purba,
Sin Dolog Sini Panei
Naija pe lang mahua,
asal ma marholong niatei
*Tak pandang asal usul (Huta, Marga, Garis Keturunan)
yang terpenting adalah menyadari Cinta-Kasih,
Hanya Cinta-Kasih yang dapat mempersatukan kita sebagai suku Simalungun dan sesama manusia
(Inilah sifat dan makna Simalungun yang sejati)
(Sesungguhnya semua kehidupan yang memiliki bentuk beragam dan ekspresi hidup yang beragam memiliki esensi yang satu adanya. Kita hidup dalam kolam energi yang satu – Habonaron do Bona.)
Luar biasa para leluhur Simalungun ketika mendefinisikan makna dan arti Simalungun itu sendiri. Setelah melewati sejarah panjang, dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), semestinya masyarakat Simalungun sebagai Sipukkah Huta tidak lagi tertular dengan pembicaraan virus-virus perpecahan yang berasal dari dogma agama, kepentingan suatu marga, sejarah kelam, dendam, kepentingan suatu kelompok dll..
Namun berdasarkan kesadaran ahap Simalungun, ‘Kerajaan Marpitu’ berserta seluruh elemen pembentuknya telah bermetamorfosa menjadi Suku Simalungun! Halak Simalungun telah satu dan dipersatukan oleh Ahap – Holong Ni Atei. Yang ada hanyalah Keluarga Besar Simalungun. Hita Sipukkah Huta, Hita Simalungun sada ibagas Ahap.
Selesai Sudah Segala Perbedaan dan Trauma Itu…
Mari kita bakar habis segala trauma, sifat negatif yang memperlambat perjalanan kita. Zaman menuntut Keluarga Besar Sipukkah Huta tampil ke depan untuk menjaga kedamaian, Cinta dan keharmonisan di atas Pertibinya, menjadi SUHUT. Saatnya Keluarga Besar Sipukkah Huta – Sa-Ahap Simalungun, memerangi ketamakan yang mengeksploitasi alamnya tanpa rasa tanggungjawab, korupsi, amnesia jati dirinya, amnesia sejarahnya, ketidakpedulian terhadap alamnya. Saatnya Bangkit dan Bersatu!!!
Ahap Simalungun: Kata Kerja, Bergerak, Dinamis…
Ahap Simalungun bukanlah ‘keadaan’ yang statis, diam atau apatis. Kesadaran akan Ahap Simalungun ini merupakan takdir untuk berbuat demi kemanusiaan di atas Pertibinya. Rasa Kekeluargaan sebagai Keluarga Besar Simalungun merupakan suatu modal besar untuk mewujudkan keadilan sosial, kemakmuran, persatuan dan kesatuan berdasarkan kesadaran spiritual.
Budaya dan kebudayaan adalah demi kemanusiaan. Ketika negatifitas; ketamakan, keegoisan, radikalisme, korupsi, arogansi kelompok, ketidakpedulian sesama dan terhadap lingkungan semakin kental dan menyesakkan, saatnya gelombang dahsyat Ahap Simalungun itu membersihkannya, memperbaikinya. Setiap Halak Simalungun memiliki tanggung jawab moral untuk menjunjung tinggi martabat Keluarga Besar Simalungun. Setiap pikiran, ucapan dan tindakan yang tidak berdasarkan habonaran, hati nurani harus ditinggalkan.
Jangan pula demi kedudukan, kepentingan kelompok dan keluarga atau jabatan politik, ha-bonaran dan hati nurani kita ingkari, manipulasi. Orang seperti itu tak patut di sebut Bagian Keluarga Besar Simalungun. Memperjuangkan atau berani mewakili nama besar Keluarga Simalungun, namun berlaku curang, munafik, memanipulasi unsur-unsur Hasimalungunon, mereka tidak pantas di sebut warga Simalungun. Mereka belum Mar-ahap Simalungun. Mereka hanyalah pedagang yang tak punya nurani – Holong Ni Atei.
Ahap Simalungun Sebuah Totalitas
Ahap Simalungun Adalah sebuah totalitas. Masih ingat ungkapan umum ini, “Jangan lakukan hal yang tidak kamu inginkan kepada orang lain, jika kamu sendiri tidak ingin diperlakukan dengan hal yang sama…” Lao Tse dan Yesus mengatakan demikian. Inilah keintegritasan. Totalitas. Antara pikiran, ucapan, perbuatan telah sinkron – selaras. Tidak ada kemunafikan. Artinya Ahap Simalungun adalah sebuah integritas, ketotalan sebuah pribadi yang utuh. Perlu kerja keras untuk mempertahankannya, karena pasang surut emosi, dan keinginan indra akan selalu mencobainya. Maka waspadalah.
Mari kita pinjam dulu falsafah tetangga kita dari tanah Jawa tentang perlunya keutuhan Cipta, Rasa dan Karsa. Cipta berarti pikiran yang jernih, fokus, berdaya. Rasa adalah kehalusan budhi, sifat kemanusiaan yang universal itu, keindahan yang berasal dari dalam diri. Lalu Karsa adalah perbuatan yang tepat yang berorientasi kepada kemanusiaan itu, kemuliaan manusia itu sendiri. Artinya apa?
Segenap hasil dari Cipta, Rasa dan Karsa merupakan ‘alat’ untuk menciptakan surga di bumi, keharmonisan di bumi tanpa mengorbankan nilai-nilai universal yang spiritual tersebut. Bisa diartikan pembangunan adalah untuk memanusiakan manusia. Lalu ketika semua hal hasil peradaban itu nyatanya malah mengkerdilkan manusia berarti ada yang salah. Ini bukan sebuah totalitas. Jadi Ahap Simalungun adalah untuk memanusiakan manusia.
Dalam Ahap Simalungun juga terkandung kebijaksanaan dan kebajikan untuk saling asih (mengasihi), asuh (mengasuh) dan asah (mengasah). Mungkin dalam bahasa Simalungun kurang lebih bermakna: marsihaholongan, marsianju-anjuan, marsitagam-tagaman. Inilah yang disebut totalitas itu. Yang kuat memberdayakan yang lemah. Yang lemah mau diajari, ditolong. Ada usaha bersama, ini bukan demokrasi. Namun inilah hakekat kegotong-royongan itu. Bahwa Ahap Simalungun mengindikasikan adanya gelar usaha, upaya bersama saling memberdayakan, saling menolong, saling membuka diri demi kebahagian bersama, kemuliaan bersama.
Demikianlah secara ringkas hasil perenungan saya. Semoga Ahap Simalungun (Sauhur Simalungun) ini mendirikan yang terduruk, memapah yang lemah, membangunkan yang tertidur, menghibur yang berduka, membakar kegelisahan di hati, mengingatkan yang tamak, demi kebersamaan menuju masyarakat yang sadar.
Dunia ini cukup luas dan kaya untuk kebahagiaan kita bersama. Dunia ini hanyalah persinggahan sementara, warisan dari anak cucuk kita.
Salam. Diatetupa ma. Mohon maaf kalau ada salah kata.
(Pemahaman ini akan tetap saya perbaharui sesuai dengan perkembangan batin saya).
Hita Sipukkah Huta, Sa-Ahap ma hita!