Parjagul, Pargajul
Oleh Drs Rikanson Jutamardi Purba, Ak
Bagaimanalah kami parjuma-juma ini? Tanah tak luas, hasil sedikit, dan hutang menumpuk.
Pemerintah, rasanya, terus salah arah.
Negara ini sebagian besar dihidupi oleh petani, peternak, dan nelayan,
tapi perhatian pemerintah terus saja ke dunia industri.
Padahal pabrik-pabrik elektronik asing mulai pada tutup. Sebentar lagi akan banyak PHK. Katanya, ada pula MEA. Kami harus ke mana?
SI Aseng sudah lama buka toko kelontong di Kampung Jawa. Awalnya kami-kami mencibir, bagaimanalah seorang keturunan Tionghoa bisa maju di kampung-kampung? Tapi nyatanya, kelontongnya sudah berkembang jadi grosir, karena kota kecil ini pun sudah naik kelas jadi ibukota kabupaten. Kalau bukan karena minimarket waralaba yang sudah ada dua, usaha si Aseng pasti bertumbuh lebih pesat lagi. Juga toko grosir Sodap Tumang yang berada di pusat kota.
Pemerintah kami bukan Ibu Susi Pudjiastuti. Ibu itu, seperti yang pernah saya baca di koran pembungkus hiou (ulos), segera setelah dia dipanggil Bapak Presiden untuk dijadikan menteri, dia pun melepaskan kepengurusan maskapai penerbangan miliknya kepada orang-orang pilihannya. Di koran itu ditulis, orang-orang pilihan itu adalah para profesional.
Di sini tidak. Justru pejabat pemerintah kami sendiri yang membuka minimarket waralaba. Alasannya, agar perantau-perantau sukses mau juga mengikuti jejaknya berusaha di sini. Usaha apa kek! Tapi, apa boleh buat, benturan kepentingan tak terhindarkan. Minimarket satunya lagi, yang dibuka oleh seorang dokter terkenal, agak tersendat izin-izinnya. Mungkin pejabat pemerintah kami tak menyuruh menyendatkan izin-izin itu, tapi kemungkinan besar, anak buahlah yang berinisiatif seperti itu, supaya bosnya senang.
Situmorang pun sukses mengembangkan lapo (kedai) tuaknya. Lapo-nya selalu full house. Kalau bukan enam, paling tidak, empat sampai lima jeriken besar tuaknya ludes saban sore menjelang malam. Di sini, tuaknya Situmorang disebut tusor, tuak sore. Tambul standarnya adalah tahu goreng dikasih sambal rawit giling kasar, andaliman, perasan jeruk nipis, dan garam secukupnya. Itu sudah sangat enak, karena harganya hanya lima ribu rupiah setapak piring kecil).
Jangan bayangkan tahu Sumedang. Kadang-kadang, tahu yang diawetkan pakai formalin atau boraks sekali pun oleh pengusaha tahu di Rambung Merah, tak ada yang peduli. Tak ada yang tak enak di lapo tuak. Gorengannya agak mentah atau sebaliknya menghitam karena pakai jelantah, disikat habis semua. Kadang-kadang, ada Kadis yang berbaik hati, mentraktir pengunjung lapo dengan korban anjing. Berapalah empat ratus ribu bagi seorang Kadis untuk membeli anjing yang akan dipotong? Seserannya ‘kan banyak?
Situmorang pintar juga. Dia menyediakan gitar di lapo-nya. Kadang ada pengunjung yang lumayan bermain gitarnya, tapi lebih sering yang ada adalah pemain gitar seadanya. Tahunya cuma main dengan kunci tiga jurus. Nada dasarnya selalu C. Kadang pengunjung yang bernyanyi keselek, karena nadanya tidak sesuai dengan nada dasar yang ditetapkan si pencipta lagu. Kadang kerendahan, kadang ketinggian. Tapi tak ada yang keberatan, semua enjoy. Lagu wajib pastilah “Elvi”.
Di lapo, setelah masuk dua atau tiga gelas, tuak sudah mulai ngefek. Pipi sudah mulai terasa kebas dan pipi merona merah muda. Tak ada lagi batas-batas. Kadis dan petani buncis, sama saja, bisa ledek-ledekan. Apalagi banyak masalah di pikiran, godaan untuk nongkrong di lapo sangat besar. Di sana, semua beban pikiran hilang. Hutang leasing lupa, padahal sepeda motor sudah disimpan di gubuk ladang supaya tak bisa diambil paksa oleh pihak leasing.
Menjelang pelaksanaan pilkada yang tertunda yakni tanggal sepuluh Februari tahun ini, topik pembicaraan tak pernah kering. Trending topic-nya apalagi kalau bukan soal-soal politik. Semua jadi pakar, kalah yang di tivi-tivi. Kadang tak ingat keluarga di rumah, tak ingat belum bayar uang bulanan anak, uang sekolah, tagihan listrik, dan tagihan air PDAM. Istri tak masak di rumah karena gas habis pun tak dipedulikan lagi.
“Aku harus ke sana,” gumam Pak Bacul sambil kesana-kemari. Tadi dia sudah kecilkan volume tivi, tapi sekarang dia ambil lagi remote control. Volume dibesarkan lagi. Lantas ganti channel. Tak ada pula acara yang enak, asyik membahas kopi sianida terus. Pak Bacul supergalau. Tadi istrinya merepet kayak baca mantra, tak bisa masak karena gas habis. Uang di kantong tinggal delapan ribu, sementara jagung yang sudah tiga hari dijemur, tak kunjung dijemput oleh tauke (pedagang pengepul).
Mungkin karena harga jagung merosot terus. Tiga hari lalu, tauke masih bisa terima seharga empat ribu tiga ratus rupiah per kilogram. Sekarang tinggal tiga ribu tiga ratus. Turun seribu per kilogram. Mana hasilnya hanya empat ratus kilogram dari dua rante. Belum dipotong biaya benih dua kilogram plus pupuk “pemancing” sepuluh kilogram. Hitung punya hitung, ketekoran akibat penurunan harga dalam tiga hari saja sudah empat ratus ribu rupiah. Benih, kena potong lagi seratus tujuh puluh ribu. Pupuk “pemancing”, potong lagi lima puluh ribu. Total jenderal, potongan saja sudah dua ratus dua puluh ribu. Kalau jagungnya ditimbang sekarang dan duitnya diterima, sisanya tinggal sejuta seratus ribu. Sementara biaya bulanan anak sudah sejuta dua ratus ribu. Harus nombok seratus ribu lagi. Ke mana harus dicari?
Dia pegang kertas yang telah di-print anak gadisnya di warnet. Itu tadi pagi dikirimkan anak laki-lakinya lewat e-mail. Angka-angkanya bagus, tapi deritanya tak kunjung pupus. Jalan satu-satunya, iya, cari “bius”. (Di sini, tuak kadang disebut juga “bius cantik”. Kita seolah terbius, karena sudah “cantik”. “Cantik” adalah kondisi dimana tuak sudah ngefek).
Tabel-tabel inilah yang ada pada kertas yang dibawa Pak Bacul ke lapo itu.
Masuk satu (gelas), kertas masih di tangan Pak Bacul. “Si Aseng, Sodap Tumang, dan Situmorang kok bisa sukses dagangnya, aku kok menderita begini?” Dia bertanya dalam hati, tapi langsung juga dijawabnya sendiri, “orang ‘kan punya rezeki masing-masing. Kukenal-nya si Aseng, kukenal-nya Situmorang ini. Mereka happy-happy saja.” Setelah membuang parak (endapan kental tuak di dasar gelas), dia menengadahkan gelasnya untuk diisi kembali oleh Situmorang.
“Elvi…, idingat ham pe parjumpahanta? / i Sirpang Sigodang, dohorhon Merekraya…,” Pak Bacul langsung menyambut intro yang dimainkan dengan gitar oleh Rio, anak muda yang lumayan bermain gitarnya. Ketika masuk bait kedua: “Tingki, tingki pajumpah hita use / hulajou husisei, balosmu pe lansei / Uhurhin lambin madotei, age ija ragei-ragei / Halani ham lang marholong ni atei”, pengunjung lapo masing-masing menarik suara tiga, “lima”, dan “tujuh”. Suasana makin semarak. Lagu ini menyatukan orang-orang galau.
Masuk dua, kertas yang di tangan Pak Bacul mulai diremasnya. Ditimpukkannya ke arah Tersek yang suara tiganya agak “lari”. Lapo memang tempat mengusir rasa apa saja dan di tempat seperti inilah kita bisa mengisengi siapa saja.
“Eh…, jangan main timpuk Kawan…!” Tersek agak kaget. Tadinya kertas tersebut akan ditimpukkannya kembali ke arah Pak Bacul, tapi secara refleks, dibukanya kertas itu. Dilurus-luruskannya di atas celana jins kumal. “Angka-angka apa ini?” tanyanya.
Sambil mengangkat dagu sedikit, Pak Bacul menghabiskan tuak di gelasnya. Seperti biasa, setelah membuang parak, ditengadahkannya lagi gelas ke arah Situmorang. Minta tambah. Rasa tuak Situmorang memang enak, agak-agak mirip Kamput (Kambing Putih, merek minuman kampung-kampung). Gelas berisi kembali.
“Lemparkan balik kertas itu ke sini…! Anakku yang mengirimkannya tadi pagi, karena aku mengeluhkan harga jagung yang terus merosot. Uang bulanannya belum kukirim. Apa yang mau dikirim? Memang bisa pakai daun nangka?”
Masuk tiga, Pak Bacul mulai keluar ilmunya. Lagu “Elvi” sudah berakhir. Dia menyeruput tuak. Nikmat…!
“Aku kecewa sama Presiden. Aku kecewa sama Bupati. Mengapa sedikit pun mereka tak memedulikan kita parjuma-juma ini? Waktu kampanye tahun 2014, Presiden menolak semua yang berbau impor, nyatanya minggu lalu sudah masuk jagung impor sebanyak empat puluh ribu ton dari dua ratus enam puluh ribu ton rencana impor kwartal pertama tahun ini. Bukannya lahan-lahan tidur yang banyak itu ditanami jagung oleh rakyat dengan dukungan pemerintah.
“Jangan ngomongin Pak Presiden di sini Lawei (bahasa Toba: Lae), capek kita. Yang penting, siapa calon bupati yang akan Lawei pilih tanggal sepuluh ini?” Rumpak angkat bicara. Memang menjelang perhelatan pilkada di kabupaten kami yang sempat tertunda karena kesalahan penyelenggara, membuat topik pembicaraan di lapo-lapo tak pernah lari dari soal-soal seperti ini. “Jangan gampang-gampang saja menyalahkan Presiden kita Lawei. Terlalu jauh itu.”
Pak Bacul terdiam. Tampaknya dia mencoba mengumpulkan konsentrasi. “Saya akan pilih calon bupati yang peduli sama orang-orang seperti kita. Tak usah banyak bacot, petani, peternak, dan pekebun rakyat saja yang diurusnya, langsung kupilih dia.”
“Dari mana Lawei tahu kalau dia akan mengurusi kita parjuma-juma?”
“Dari track record-nyalah.”
“Bah…, track record pula itu,” Rumpak yang sarjana ekonomi ini agak terpancing meladeni pembicaraan Pak Bacul. Memang jika ditilik-tilik, benar juga yang dikatakan Pak Bacul. “Yang punya track record cuma satu paslon Lawei.”
“Iya. Yang itulah.”
Rumpak mencoba meyakinkan Pak Bacul, “Saya ragu, apakah bila terpilih nanti, bupati kita benar-benar mau memedulikan kita? Kayaknya kita ini tetap saja jadi parjagul (petani jagung) yang tak punya daya tawar. Tauke Siantar saja yang menikmati keuntungannya terus. Kita-kita di sini sudah bisa “diselesaikan” dengan duit lima puluh ribuan, fajar-fajar di hari pilkada. Itu mah langsung habis sekali datang ke lapo-nya si Tumorang ini.”
“Nasib kita memang tetap saja pargajul (begajul). Gelas Pak Bacul sudah kosong lagi, tapi stok tuak Situmorang sudah habis. Bis…!