Simandamei
O l e h:
Drs Rikanson Jutamardi Purba, Ak[1]
Penggagas KoRaSSS
(Koalisi Rakyat untuk Siantar-Simalungun Sejahtera)
Tagan protes sama Inang, “Aku tak mau makan ikan hiu ini, soalnya bau tukkik…!”[2]
Datok[3] mendengar protesnya. Datok segera putar otak dan pergi ke sisi ladang,
menciduk air dengan bekas tunggom[4] yang dipotongnya di tengah antara buku pertama dan kedua,
dan menuang airnya ke lubang-lubang. Rupanya Datok memancing jangkrik.
JANGKRIK-JANGKRIK itu bukan untuk makanan burung Bossala[5] piaraan Datok, melainkan untuk lauk Tagan dan Tatap. Datok memang selalu solutif, mencari jalan keluar bila jumpa masalah. Dia tidak mau cerewet seperti Inang yang tahan merepet sejak tiba di ladang hingga pulang ke rumah ketika matahari bertukar peran dengan bulan. Mulut Datok lebih banyak diam, tapi pikirannya jalan terus dan tangannya terus bekerja. Meski Datok hanya mengenal Jokowi lewat televisi, tapi rupa-rupanya prinsip mereka sama: kerja, kerja, dan kerja. Dalam hal prinsip ini, saingan lainnya hanya Susi Pudjiastuti, menteri Kabinet Kerja yang pesawatnya bakal sering disewa lagi oleh kepala daerah kami.
Dengan darah dingin, Datok begitu saja mencopoti kepala jangkrik-jangkrik itu, mencuci tubuh jangkrik dengan air hujan yang ditampung pada gentong plastik warna biru bekas wadah cairan kimia yang ditaruh di ujung talang bambu gubuk ladang, dan menusukkannya pada lidi aren seperti tusuk sate. Masing-masing lima jangkrik setusuk. Tagan disuruh memanggang jangkrik di perapian.
Lantas Datok memetik cabe rawit, mengambil sihala[6], memetik sebuah jeruk nipis, memecah kemiri yang telah dijemur di pekarangan gubuk, memecah sekeping kecil belacan yang ditaruh Inang di para-para perapian, menjumput garam sedikit, dan mengambil cobek dan mutu[7] untuk menggiling bumbu.
Dengan mulut terkatup, Datok menggiling bumbu dengan ligat[8]. Keringatnya bercucuran dan tanpa sadar, tetesannya jatuh ke dalam penggilingan, sehingga –seperti beberapa kali terjadi – menambah rasa asin bumbu. Untung saja ingusnya yang meler tak ikut jatuh juga. Kalau iya, barangkali rasanya bakal “tambah nikmat”. Bumbu tak digiling halus, dibiarkan kasar begitu saja. Menurut Datok, jika terlalu halus, aroma bumbu bakal berkurang. Proses mengadon bumbu dituntaskan dengan meneteskan perasan jeruk nipis yang dipotong dua.
Itulah solusi yang diambil Datok ketika Tagan mempotes Inang yang mengangsurkan ikan bakar eks ikan yang diambil Inang dari parkoyahan[9]. “Aku tak mau makan ikan hiu ini, soalnya bau tukkik…!” protes Tagan. Dia –apalagi Tatap– hampir saja muntah-muntah melihat ikan itu karena ada berenganya. Padahal menurut Inang, semakin ada berenganya, rasanya semakin enak. Ikan itu sebenarnya adalah ikan pari, tapi Tagan begitu saja menyebutnya sebagai ikan hiu. (Yang kelewatlah si Tagan ini, mana pula ada ikan hiu eks selat Malaka atau laut sepanjang pantai pulau Sumatera ini?). Tagan memang tak suka –atau lebih tepatnya: tak tahu– googling, padahal tinggal buka lewat smart phone yang dibelikan Datok dari hasil penjualan kopi di ladang mereka yang hanya empat rante.[10] Tinggal ketik kata ‘hiu’, bukan?
Nasi Sigambiri[11] se-bahul-bahul[12] yang mereka makan berempat nyaris habis saking lahapnya. Inang dan Datok asyik dengan ikan bakar, sementara Tagan dan Tatap dengan lauk jangkrik panggang yang dilumuri bumbu kreasi Datok. Memang benar yang dikatakan Datok; dalam hidup ini, yang penting bukan makan enak, melainkan enak makan. Mereka berempat enak makan, apalagi di ladang yang sayup-sayup diwarnai aroma pupuk kompos tahi ayam yang beberapa kali dipesan dari Aking, tauke kompos dari Karangsari.
Sekali waktu, Datok pulang belakangan dari ladang. Ketika Inang, Tagan, dan Tatap sibuk mengemasi kayu bakar, singkong, dan daun singkong yang baru dipetik Inang dari sisi ladang untuk dibawa pulang ke rumah, Datok justru sibuk mengemasi jaring yang dilumurinya dengan getah. Maksudnya –Tagan sudah hapal– apalagi kalau bukan untuk menjerat kelelawar. Datok mempersiapkan labar[13] untuk lauk esok siang.
Datok senantiasa memanfaatkan kekayaan alam untuk bahan konsumsi. Diperintahkannya Inang supaya tidak serba beli, apalagi makanan kaleng yang sering dipergokinya telah lewat tanggal kedaluarsanya. “Hemat, hemat, dan hemat!” Itu jadi instruksinya kepada Inang, Tagan, dan Tatap. Tidak banyak instruksi yang lain. Datok cerdas memanfaatkan keuangan keluarga, karena aset produktif mereka hanya ladang yang sepetak itu di perladangan Simandamei. Terutama karena sebentar lagi Tagan akan mulai kuliah di sebuah universitas negeri di Bandung, jurusan akuntansi. Nama Tagan ternyata ada dalam daftar nama jalur undangan dari universitas ngetop itu. Pilihan jurusan Tagan itu memang atas saran Datok. “Carilah jurusan yang menjadikan kau pintar berhitung untung-rugi, Ambia,”[14] katanya.
Itu makanya, ladang Simandamei amat sangat-sangat berarti sekali bagi mereka. Terutama tanaman kopi dan cabe di atasnya. Kebutuhan hidup mereka dipenuhi hanya dari martulak[15] kopi kepada pengepul setiap Jumat sore, beberapa kilo cabe yang dipanen, dan beberapa ikat daun singkong yang dipetik Inang untuk dijual di pekan (pasar mingguan), Sabtu esok harinya. Sesekali Inang ikut marombou[16] bersama inang-inang sekampung di ladang tauke cabe, tomat, atau jahe di kampung kami. Kadang-kadang, mereka sampai juga marombou ke kampung lain di ladang tauke jeruk di sana.
***
ALAT-ALAT berat tengah bekerja di ladang Simandamei. Mandor asyik mengarahkan operator backhoe (beko) mengorek-timbun untuk membentuk level tanah yang konon katanya akan dijadikan superblock[17] di kampung kami yang telah ditetapkan jadi ibukota daerah tingkat dua.
Karena jadi ibukota, semua dipermak habis. Kantor kepala daerah bahkan ada lagi yang baru. Konon katanya, bangunan lama sudah retak, sehingga mengancam keselamatan jika masih tetap digunakan. Ternyata belakangan, kantor lama diserahkan pemanfaatannya kepada pihak militer sebagai Makodim. Adakah di sana motif bisnis pribadi kepala daerah? Soalnya, secara pribadi, di depan kantor baru itu pula terletak aset properti sang kepala daerah.
Kantor SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) pada dibangun, kamar rumah sakit umum daerah (RSUD) ditambah, sekolah-sekolah direhab, universitas didirikan, eks kantor camat dibangun bertingkat dua menjadi kantor Badan Pelayanan Izin Terpadu, dan banyak lagi. Jalan utama diperlebar menjadi dua jalur dengan median (pulau jalan) di tengahnya, lengkap dengan bunga-bunga.
Gereja dan mesjid juga direhab. Masyarakat ikut merenovasi rumahnya dengan dana ganti rugi pelebaran jalan. Rumah makan – rumah makan bertambah, kedai kelontong bermunculan, dan bahkan Indomaret ada dua. Tauke bahan bangunan membangun rumah kos-kosan dan dealer sepeda motor membuka gerai. Mobil mewah (Alphard, Fortuner, Pajero, atau Strada double cabin) berseliweran. Sesekali Hummer hitam melintas. Di garasi-garasi rumah terparkir Innova, Avanza, Xenia, Luxio, atau –paling cekak– pickup Mitsubishi Eltor (L300), GranMax, atau Suzuki. Bank-bank buka cabang atau kantor kas. Harga tanah melambung. Ekonomi tampaknya menggeliat.
Bandara yang dulu dibangun di awal periode kepala daerah kami, masih ada. Sesekali, helikopter masih mendarat. Cuma, pesawat SusiAir tak pernah lagi menjejakkan rodanya di bandara itu. Apakah mungkin karena di sana kerbau-kerbau merumput akibat bandara sudah menyemak? Paling-paling, terakhir ini, bandara dipakai orang kampung sebagai tempat menjemur jagung.
Sayang sekali, yang masih memprihatinkan, listrik PLN masih byar-pet, bisa enam kali sehari. Kalau baca koran atau buka TV, mantan dirutnya yang kemudian menjadi Menteri BUMN sudah jadi tersangka pula. Kabel telepon sering dicuri entah oleh pencuri atau pegawai kantor itu sendiri, sehingga warnet sering buka-tutup. Akses Speedy macet, pengusaha warnet pada mengeluh.
Backhoe, grader[18], dan compactor [19] tengah menggeliat-geliat di ujung sana. Orang bertopi proyek dengan teodolit di tangannya asyik mengeker-ngeker. Perhatian mereka semua terpusat pada pengolahan tanah seluar 100 hektar yang dibeli investor dan konon di-back up oleh tauke sawit terkenal, pejabat dan mantan pejabat Jakarta, serta –sudah pasti– dikelola oleh sang kepala daerah. Superblock itu rencananya menjadi kota baru seperti Bintaro, Alam Sutera, Lippo Karawaci, Sentul City, atau Kota Baru Parahyangan.
Hampir di tengahnyalah terletak ladang Datok. Urusan ganti-rugi belum tuntas, termasuk beberapa pemilik lahan lagi dengan alasan masing-masing. Semula, ganti rugi yang disepakati adalah tiga belas juta rupiah per rante. Itu belum dipotong “uang administrasi” sebesar dua persen melalui lurah. Sebagian besar pemilik lahan sudah menerima pencairan uang ganti rugi. Ucapan yang biasa terdengar, “Domma cair duitmu gan, Ambia. Ai lang saud ma Avanza ia?” (Konon uangmu sudah cair, Bro. Jadi dong Avanza-nya?). Istilah yang sering terdengar: cair, cair, dan cair…!
Datok bukannya tidak mau mendukung pembangunan kampung kami menjadi sebuah kota baru. Itu ‘kan sudah kehendak zaman? Cuma saja, otaknya berputar keras. Taruhlah dia mau menerima ganti rugi, maka dari lahan yang empat rante, dia hanya menerima lima puluh dua juta rupiah. Dipotong dua persen, maka sisanya tinggal lima puluh juta sembilan ratus enam puluh ribu. Taruh kata pula, kopi yang ada seratus pokok diganti masing-masing dua ratus lima puluh ribu rupiah, maka Datok akan menerima lagi dua puluh juta rupiah kotor. Dipotong juga dua persen, sehingga tinggal dua puluh empat juta lima ratus ribu. Cabe yang ditumpangsarikan di bawah kopi memang ada enam ratus pokok, jika diganti rugi lima puluh ribu per pokok, maka uangnya tiga puluh juta rupiah kotor. Setelah dipotong dua persen, maka tersisa tinggal dua puluh sembilan juta empat ratus ribu. Total jenderal, seratus empat juta delapan ratus enam puluh ribu rupiah…!
Satu kali saja pun ia tidak tertarik akan uang yang seratus juta lebih itu, apalagi –seperti yang lain– berencana membeli mobil terbaru dari uang ganti rugi. Datok melatih keluarganya hidup prihatin dan hemat. “Dearan ope ngolting daripada rotap.” (Lebih baik mengencangkan ikat pinggang daripada akhirnya tidak makan samasekali). Selain solutif, Datok ternyata sangat konservatif. Hal berbeda tentu berlaku bagi yang menerima ganti rugi enam ratus empat puluh juta, delapan ratus juta, atau bahkan ada yang menerima satu miliar lebih. Mereka punya kelonggaran. Datok samasekali tak menganggap uang seratus juta lebih bisa menjamin hidup keluarganya ke depan.
Walau ladang mereka hanya menghasilkan dua juta rupiah lebih per bulan dari penjualan kopi, cabe, singkong, dan daun singkong ditambah upah marombou Inang, ternyata mereka bisa hidup sampai detik ini. Tagan sudah akan kuliah dan Tatap sudah akan masuk SMA. Berapalah bunga uang itu kalau sekadar ditabungkan di bank? Bunga simpanan pun paling enam koma lima persen per tahun. Hitung-hitung bunganya hanya sekitar empat ratus delapan puluh ribu rupiah, setelah dipotong pajak. “Tidak bisa, belum bisa…!” Itu terus yang ada dalam kepala Datok.
Dengan lampu seadanya, Datok berhitung lewat kalkulator smart phone China milik Tagan. Kemudian tangannya menulis-nuliskan pulpen di atas secarik kertas lusuh, layaknya “memetak” tebakan togel. Di warung bagod[20] Pak Sari, orang-orang pun sering menulis-nulis, tapi lagi “CK” (cari kawan angka tebakan; dua, tiga, atau empat angka). Datok terus mencorat-coret sambil dahinya mengernyit. “Tak ada artinya…, tak ada artinya…!” Itu terus yang ada dalam pikirannya.
Beberapa temannya “kloter” terakhir dia dengar sudah ditawari ganti rugi delapan belas juta per rante. Kalau dihitung terhadap tanahnya, hanya ada tambahan dua puluh juta rupiah. “Tidak…, tidak…!” Sesekali, gumaman Datok keceplos juga, sehingga terdengar oleh Inang yang lagi mengunyah sirih. Inang nyeplos, “Yang mengigaunya itu? Sudahlah…, ham[21] terima saja tawaran itu.” Inang tak tahu apa yang sedang berkecamuk dalam benak Datok. Serapi-rapinya dia menata jalan pikirannya selama ini, sekali ini dia merasa ada sesuatu yang akan hilang. Hilang sumber mata pencaharian dan bakalan hilang pula eksistensi diri. Bakal tak punya lahan, bakal tak punya harga diri juga.
“Tidak…,” jawabnya. Sebuah gumaman yang berubah jadi setengah teriakan.
“Teman-teman kita sudah mau dengan tawaran delapan belas juta rupiah. Nanti, ham dianggap membangkang dan tak mendukung pembangunan. Jangan-jangan nanti dituduh subversif pula,” Inang mencoba meyakinkan Datok.
“Menghabiskan sekitar seratus empat juta rupiah gampang saja. Sehari saja bisa habis. Lantas apa lagi yang akan menjadi sumber hidup kita?”
“Aku marombou,” Inang ringan saja nyeplos, “ham ‘kan bisa juga memikirkan dagang-dagang sedikit, buka kedai bagod, misalnya?”
“Ini bukan hanya soal duit. Selain aku tak berbakat, tanah kita bakal tak ada lagi, sementara menyewa ladang dekat sini sudah sangat mahal. Kalau kita keluar dari Simandamei ini, paling-paling balik lagi ke sawah Bah Sigari, Sambual, kampung leluhurku.”
“Hari ini, tinggal kita berdua sama keluarga Jahot yang bertahan. Minggu depan, katanya, mereka sendiri sudah mau menerima ganti rugi itu.”
“Mereka ‘kan masih punya lahan lain, sementara kita hanya punya yang satu-satunya ini. Sampai hari ini, kita bisa dihidupi ladang itu walau pas-pasan.”
“Kalau keluarga Jahot jadi menerimanya, tinggal keluarga kita sendiri yang bertahan. Orang-orang lain pun sudah mulai mencibir ham. Kata Tagan, dia dapat kabar bahwa kita ditenggat sampai akhir Juni ini.”
Tagan dan Tatap, dari kamar mereka, mendengar pembicaraan Datok sama Inang. Terutama karena suara Datok sudah mulai meninggi. Tagan sebenarnya sungkan mencampuri, karena dia tahu benar karakter Datok: bicara dengannya hanya sekali-sekali, yang penting-penting saja, serta selalu punya pertimbangan atau argumentasi atas keputusan-keputusan yang diambilnya.
“Apa yang nggak kata mereka? Lihatlah, si Poltak yang awal-awal pencairan ganti rugi menerima satu miliar rupiah lebih, punya apa sekarang? Awalnya dia beli empat Avanza untuk ditaksikan, tapi satu-satu sudah ditarik dealer. Sekarang tinggal naik kereta[22]. Cocoknya dia ‘kan bertanam jagung, tiba-tiba mengusahakan taksi. Yang seperti itu yang saya takutkan…!”
Karena Inang menyebut-nyebut namanya tadi, Tagan tak tahan juga. Dia keluar kamar dan masuk ke ruang tamu merangkap ruang makan tanpa ruang tengah di mana Datok dan Inang bicara-bicara. “Datok, sudahlah…!”
“Diam kau…!” Dari suara Datok, Tagan mengerti bahwa ayahnya lagi galau, mentok, dan kali ini belum punya solusi atas masalah yang dihadapi keluarganya. Tak seperti biasanya.
***
DI tengah-tengah komplek SKPD memang tidak ada helipad[23]. Tapi di minggu-minggu terakhir ini, sudah ada beberapa kali helikopter berstiker nama rumah sakit milik sang kepala daerah kami mendarat di sana. Tampaknya, helicopter marketing[24] yang ampuh pada pemilihan kepala daerah (pilkada) yang memenangkannya di periode lalu akan diulangnya lagi pada pilkada serentak hari Rabu, 9 Desember 2015 yang akan datang, untuk periode kedua.

Helikopter: sumber foto internet
Soal helicopter marketing masih efektif atau tidak, wallahualam bisawab. Tapi gelegar suara itu yang mengganggu pikiran Datok. Naga-naganya sang kepala daerah pun akan men-charter lagi pesawat SusiAir. Menurut kawan-kawan di kedai bagod, itu juga adalah sebuah teknik pencitraan yang sudah mulai usang dan tak efektif lagi. Tanda-tanda untuk itu: sudah ada larangan bagi penduduk menjemur jagung di bandara. Ada pula larangan mengangon kerbau. Saat Selasa bersih baru-baru ini, PNS-PNS –entah dari SKPD mana– bekerja bakti di sana membersihkan ilalang dan belukar yang telah menyemak.
Alamat Datok makin terganggu pikirannya, karena dari ladang Simandamei, dia akan melihat pesawat itu mendarat dan terbang, sementara pikirannya diganggu oleh ancaman tenggat waktu pengambilalihan ladang yang –baginya– ibarat pengambilalihan eksistensi diri.
Datok mulai sering tampak tercenung sendirian. Mulai lagi kebiasaannya minum Bius Cantik[25] sampai larut malam yang sebelum ini sudah dikuranginya menjadi hanya dua gelas atas anjuran dokter untuk menurunkan kadar gula darah dan membuat tidur ngorok saking nyenyaknya. Mulai kambuh lagi kebiasaannya merokok “Saliti” (1-5-3). Ini tanda-tanda buruk.
“Tak ‘kan kupilih lagi dia sekali ini,” Datok mulai banyak bicara, padahal selama ini, dia terkenal hemat bicara. Bius Cantik ternyata sudah mulai ngefek.
Yang namanya di kedai bagod, pembicaraan apa saja sangat terbuka, demokratis, dan tampaknya hebat-hebat, karena sering bagaikan analisis yang ada di acara talk show televisi-televisi. Di Bius Cantik, Situmorang-lah yang sering reste[26]. Dia lulusan IPB jurusan Teknologi Pengolahan Pangan, tapi hingga detik ini, sekadar saos tomat saja tak ada diproduksi dari kampung kami. Kehadiran Situmorang di kampong ini tak ngefek. Ketika Datok angkat bicara, Situmorang langsung saja menyambar.
“Yang bagaimana-nya Lawei ini. Kampung kita bisa seperti sekarang ini ‘kan berkat sang kepala daerah kita? Dia bangun kantor-kantor SKPD, ditambahnya kamar RSUD, sekolah-sekolah direhab, universitas didirikan, kantor Badan PIT bertingkat dua. Jalan utama diperlebar menjadi dua jalur lengkap dengan pulau jalan. Gereja dan mesjid direhab dengan dana bansos (bantuan sosial). Rumah penduduk makin cantik karena sudah direnovasi. Restoran bertambah, mini market bermunculan, bahkan ada pula kafe Lapas. Rumah kos-kosan laku. Sepeda motor sudah menggantikan sepeda. “Mobil Mandra” (maksudnya Hummer) sering lewat sini. Tak terlalu hebat kalilah kalau orang punya mobil sekarang ini, dulu memang iya. Bank-bank makin banyak, termasuk BPR dan CU (Credo Union). Harga persil melambung. Ekonomi menggeliat. Apa pula Lawei ini, tak akan memilihnya pula?”
“Tak ‘kan kupilih lagi dia. Titik…!”
“Jiah…,” Situmorang merasa ada yang tak beres di diri Datok. “Lho…, kudengar tanahmu sekarang dihargai delapan belas juta per rante. Iya ‘kan?”
“Itulah…!”
“Itulah bagaimana? Yang sebelumnya ‘kan cuma dapat tiga belas juta per rante. Emang tanah orang Lawei ada berapa rante?”
“Empat.”
“Jiah…, tujuh puluh dua juta juga ‘kan?”
“Hargaku bukan segitu. Bagiku, itu sama saja dikali nol. Ladangku sebentar lagi akan dikali nol juga.”
“’Kan masih ada kopi dan cabe. Mintalah ganti ruginya!”
“Bagiku, itu pun dikali nol juga. Makanya dia pun akan kukali nol…! Tak ‘kan kupilih lagi dia. Dia merampas diriku.”
Tak pernah-pernahnya Datok memesan bagod melampaui satu galon. Ini sudah gelas kedelapan, tinggal parak[27]. Datok hampir limbung, kedua tangannya memegangi dua sisi meja. Dia hendak berdiri, tapi tatapan matanya nanar.
“Bawalah Lawei itu, Ambia,” kata Situmorang sama Tagan yang disuruh Inang menjemput karena malam sudah larut, tapi Datok belum ada di rumah.
Tagan memapah Datok hingga depan pintu kamar tidur. Inang menyambutnya dan membantunya naik ke atas dipan.
“Tak ‘kan kupilih lagi dia.”
“Apa-nya ham bilang? Kok lama kali pulang? Tak pernah ham begini.”
Datok sudah “cantik”[28] Pertanyaan Inang tak diproses otaknya lagi. Yang ada hanya gumaman “Tak ‘kan kupilih lagi dia.” Kali ini Datok kehilangan daya solusi. Eksistensinya seolah terenggut. Yang membuatnya merasa aman dan damai mungkin tinggal Bius Cantik.
Bukan lagi ladang Simandamei.
Gudang Tambahan, Pamatangraya
11 Juni 2015, 19.58 WIB
[1] Pulang kampung dalam rangka marsipaturei hutani bei (membangun Indonesia dari kampung masing-masing).
[2] Tukkik = kuping bernanah karena infeksi.
[3] Datok = Ayah. Biasanya pasangan ‘inang’ (ibu) adalah ‘bapa’ atau ‘amang’ (ayah), tapi Ayah lebih suka dipanggil ‘Datok’ oleh Tagan, Tatap, Inang, dan orang sekampung.
[4] Tunggom = bumbung bambu dua buku tempat menampung nira enau.
[5] Bossala = satu spesies burung berdada hitam-putih dengan kicauan ‘ato lite tea ata, oliti…, oliti…, eur noh’ dalam irama inggou Simalungun.
[6] Sihala = kincung. Bahasa Karo: cikala.
[7] Cobek dan mutu dalam bahasa Simalungun disebut sebagai panggilingan (penggilingan).
[8] Ligat = gesit.
[9] Parkoyahan = tempat lauk di para-para perapian dalam rangka pengawetan makanan lewat proses pengasapan.
[10] Rante = ukuran lahan yang luasnya 400 meter persegi.
[11] Sigambiri = satu varietas beras merah.
[12] Bahul-bahul = bakul nasi yang terbuat dari anyaman pandan.
[13] Labar = makanan khas daerah ini yang dibuat dari serutan singkong segar dengan menggunakan punggung pisau dilengkapi daging kelelawar goreng (bisa juga daging ayam, burung, atau tupai) yang dicincang halus dengan bumbu lengkuas, sereh (sangge-sangge), cabe rawit, andaliman, garam secukupnya, dll.
[14] Ambia = sapaan antar-saudara laki-laki sebaya atau yang umurnya di bawah kita.
[15] Martulak = menyetor atau menjualkan.
[16] Marombou = menjadi buruh tani.
[17] Superblock = satu kawasan yang secara lengkap terdiri atas perumahan, pusat bisnis (ruko, mini market, pasar, atau mall), sekolah, rumah sakit, perkantoran, pujasera, sarana rekreasi (taman, arena bermain anak [ayunan dan jungkat-jangkit], dan amphitheatre), sarana olahraga (kolam renang, lapangan tenis, voli, bulutangkis, dan jogging track), serta kelengkapan lainnya.
[18] Grader = pendorong tanah untuk membentuk level/grade.
[19] Compactor = pemadat tanah
[20] Bagod = tuak.
[21] Ham = panggilan sopan untuk suami/istri, atau kepada seseorang yang lebih senior dari kita, dan kepada Tuhan.
[22] Kereta = (di kampung kami) sebutan untuk (sepeda) motor, sedangkan ‘motor’ berarti mobil. Padahal di pulau Jawa, ‘kereta’ berarti kereta api. Di Malaysia, ‘kereta’ malah berarti mobil. Ha…, ha…, ha…, ha…!
[23] Helipad = landasan helikopter.
[24] Helicopter marketing = pemasaran politik diri sang kepala daerah kami dengan menciptakan sesuatu yang “wow” bagi masyarakat kampung. Geregetnya memang terasa, karena mengendarai helikopter memang sesuatu yang wah. (Kalau naik pesawat, sudah sangat banyak orang yang mengalaminya). Sensasi yang muncul tentunya sensasi bunyi (kadang ketika mendengar suara mesin pembabat rumput saja, asosiasi pikiran mudah beralih ke helikopter). Selain itu, sensasi penglihatan. Asyik juga memandang burung besi yang jarang hinggap di kampung kami, bolak-balik mendarat. Sesekali, sang kepala daerah pun mengajak masyarakat kampung naik helikopter itu, sehingga yang naik itu sibuk bercerita tentang bangganya dia naik helikopter.
[25] Ada seorang sarjana yang pulang kampung membuka kedai bagod/tuak (lapo) yang membuat nama “Bius Cantik” menjadi merek dagang untuk bagod. Bagod-nya segar, enak, bersih, dan harga per gelasnya pun hanya lima ratus rupiah lebih mahal dari lapo rata-rata.
[26] Reste = mendominasi pembicaraan.
26 Reste = mendominasi pembicaraan.
[27] Parak = endapan raru bagod.
[28] “Cantik” = bagod sudah ngefek yang bisa membuat setengah mabuk atau malah mabuk berat.