Custom Search

Sejarah Singkat GKPS dan Perjumpaannya dengan Budaya Simalungun

oleh: Marthin Raymond Saragih

sumber: PMTA GKPS dan Hasoman

Pdt J Wismar2

Pendeta J. Wismar Saragih

Sejarah Singkat

Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) merupakan salah satu gereja yang berlatar belakang kesukuan, yaitu Batak Simalungun. Injil masuk ketanah Simalungun pada 2 September 1903 oleh seorang utusan RMG (Rheinische Missionsgesellschaft), yaitu Pdt. August Theis. Selain August Theis, nama-nama Zendeling lainnya adalah G. K. Simon, Henri Guillaume, Edward Muller dan Carl Gabriel (Damanik 2012, 145). Penginjilan di tanah Simalungun tergolong lambat karena setelah beberapa tahun sejak penginjilan masuk ke tanah Simalungun ada memberikan dirinya untuk dibaptis. Jalung Wismar Saragih (1888-1968) dibaptis pada tanggal 11 September 1910 (Dasuha dan Sinaga 2003, 178). J. Wismar juga menjadi pendeta pertama dari tanah Simalungun (Aritonang dan Steenbrink 2008, 556). Lambatnya perkembangan Injil di tanah Simalungun disebabkan karena pemberitaan Injil tidak dilakukan menggunakan bahasa Simalungun, melainkan bahasa Toba. Perkembangan Islam yang telah lebih dahulu mempengaruhi orang Simalungun juga menjadi faktor lain penghambat Injil di tanah Simalungun. Selain itu faktor lainnya adalah kurangnya perhatian para zendeling terhadap orang-orang di Simalungun.

Kurangnya perhatian para Zendeling terhadap orang-orang Simalungun membuat Jaudin Saragih dan Pdt. J. Wismar Saragih mengambil inisiatif untuk memenangkan orang Simalungun menggunakan orang Simalungun dan bahasa Simalungun. Jaudin Saragih dan Pdt. J. Wismar Saragih membentuk organisasi-organisasi untuk memperkenalkan Injil kepada orang Simalungun, di antaranya adalah Komite Na Ra Marpoda, Kongsi Laita, dan Parguruan Saksi ni Kristus (Aritonang dan Steenbrink 2008, 555-556). Kurangnya perhatian HKBP dan Batakmission memunculkan inisiatif dari orang-orang Simalungun untuk memisahkan diri dari HKBP. Aritonang dan Steenbrink mencatat bahwa pada tahun 1928, sudah muncul keinginan untuk memandirikan diri (Aritonang dan Steenbrink 2008, 555). Tahun 1935, HKBP memberikan distrik khusus untuk orang-orang Simalungun dan menunjuk Pdt. J. Wismar Saragih memimpin distrik itu. Distrik itu kemudian diberi nama HKBPS (Huria Kristen Batak Protestan Simalungun). Perbedaan budaya dan bahasa semakin memperkuat niat orang-orang Simalungun untuk memandirikan dirinya dari HKBP. Akhirnya pada 1 September 1963, HKBPS memandirikan dirinya dan berganti nama menjadi GKPS (GKPS 1963, 54). Hingga saat ini GKPS berkembang dengan baik dan tercatat telah memiliki sembilan wilayah distrik dan memiliki anggota jemaat terdaftar sekita 250 ribu jiwa.

Isu-isu Teologis

  1. Perjumpaan Injil dengan budaya Simalungun

Masuknya para zendeling dari Barat ke tanah Simalungun tentu tidak dapat menghindari adanya benturan budaya yang dibawakan oleh para zendeling dengan budaya asli Simalungun. Charles H. Kraft berpendapat bahwa melakukan penginjilan berarti suatu usaha untuk menerjemahka Injil dari satu budaya ke budaya lain. Hal ini dilakukan untuk memudahkan pendengar Injil memahaminya (Charles 1981, 59). Ada tiga unsur penting di dalam pengkabaran Injil, yaitu Injil, penginjil dan pendengar Injil (Kane 1978, 85-139). Tentu saja Injil yang dibawa oleh para pekabar Injil bukanlah Injil yang “telanjang”, melainkan Injil yang telah bercampur dan manjadi produk dari negeri asalnya yang sangat dipengaruhi dan dibentuk oleh kebudayaan, pendidikan, sosial, dan corak kerohanian. Injil inilah yang mereka bawa dan mereka ajarkan kepada orang-orang yang mendengarkan Injil, termasuk orang-orang Simalungun.

Melalu proses perjumpaan inilah terjadi perkembangan-perkembangan baru. Kruyt berpendapat bahwa para pekabar Injil belajar dari masyarakat sekitar dan mengoreksi kembali pemahaman mereka tentang kebudayaan dan adat-istiadat penduduk pribumi. Melalui proses inilah para penginjil melihat bahwa ada unsur-unsur positif di masyarakat pribumi yang harus dipertahankan dan dilestarikan (Kruyt 1973, 17-18). Perjumpaan antar budaya ini membentuk suatu masyarakat baru, demikian juga dengan masyarakat Simalungun.

Perbedaan budaya antara budaya para zendeling dan budaya orang Simalungun mengakibatkan benturan budaya yang cukup keras. Orang-orang suku asli Simalungun yang sudah percaya terhadap Injil yang dibawakan oleh para zendeling harus meninggalkan cara hidupnya yang lama dan memulai hidup baru. Namun, tidak semua harus berubah. Ada beberapa unsur yang masih tetap dipertahankan oleh orang-orang Kristen di tanah Simalungun. Hal inilah yang memperlihatkan adanya warna Simalungun di Kekristenan yang dipercayai oleh orang Simalungun. Salah satunya adalah ahap Simalungun atau pandangan hidup orang Simalungun. Damanik mencatatkan bahwa bagi orang Simalungun, hal yang paling penting di dalam kehidupan ini adalah keharmonisan dan keseimbangan hidup, bukan kekayaan atau kehormatan (Damanik 2012, 71-73). Tampaknya hal inilah yang gagal dilihat oleh RMG. RMG gagal melihat perbedaan antara orang Simalungun dengan orang Toba. Mereka mensejajarkan begitu saja kebudayaan Simalungun dan Toba (Hutahuruk 1993, 149-155).

Kegagalan para zendeling dalam melihat perbedaan budaya Simalungun dan Toba juga berpengaruh di dalam penginjilan mereka, termasuk dalam hal bahasa. Para zendeling gagal untuk mempersiapkan dirinya dalam melayani di Simalungun, salah satunya adalah pendekatan menggunakan bahasa setempat. Hal berbeda ditunjukkan oleh August Theis dan G. K. Simon. Mereka memanfaatkan masa persiapan penginjilan ke Simalungun untuk belajar bahasa Simalungun di Tigaras (Damanik 2012, 139-140). Para zendeling juga gagal dalam membaca sikap dan sifat orang Simalungun.

Ketika para zendeling tiba di tanah Simalungun, mereka menyadari bahwa akan amat sulit untuk memenangkan suku ini karena suku ini snagat ketat menjalankan adat dan tradisi serta ritual keagamaan yang telah lama mereka percayai. Para zendeling melihat bahwa orang-orang Simalungun hidup di dalam ketakutan. Ketakutan ketika mereka tidak menjalankan adat dan istiadat mereka, roh nenek moyang mereka akan marah.  Dengan demikian, mereka menyimpulkan bahwa perayaan ritual dan penyembahan roh-roh dilakukan berlandaskan rasa takut (Damanik 2012, 141).

Selain itu, berdasarkan pemaparan tentang ahap Simalungun, dengan tetap beribadah dan memuja nenek moyang para pemimpin suku akan tetap dihormati dan didengarkan nasihatnya. Ketika seseorang sudah masuk ke Kristen, berarti dia berada di luar persekutuan agama leluhur. Konsekuensinya ia kehilangan kepercayaan dan wibawanya di tengah-tengah masyarakat dan dikucilkan dari keluarga. Kejadian setelah masuk Kristen juga memiliki pengaruh dalam perkembangan penginjilan. Jika seseorang masuk Kristen dan setelahnya terjadi malapetaka, maka hal ini menimbulkan kepercayaan bahwa Kekristenan mengundang murka para leluhur (Damanik 2012, 150). Namun, kepercayaan ini semakin lama semakin terkikis karena para zendeling berhasil meyakinkan bahwa malapetaka bisa saja menimpa siapa pun.

Dalam perkembangannya, para zendeling berusaha untuk semakin mengakrabkan diri dengan orang Simalugun dan menghapuskan kesan asing. Salah satunya adalah memberikan siluah (upeti) disetiap kunjungan mereka. August Theis juga pernah menguyah sirih, walaupun dalam hatinya menolak, untuk menunjukkan sikap bersahabat (Damanik 2012, 151). Menunjukkan sikap bersahabat dan menjalin hubungan baik merupakan usaha untuk menunjang keberhasilan penginjilan. Namun, amat disayangkan bahwa para zendeling masih melihat orang-orang Simalungun menggunakan kacamata budaya Barat, sehingga mereka terus mendorong orang Simalungun agar sama seperti orang Barat (Damanik 2012, 152).

Para zendeling juga menilai bahwa unsur budaya seperti tarian, nyanyian, dan alat musik masih mengandung nilai mistis dan kafir. Salah satunya adalah August Theis. Dengan mengutip pernyataan August Theis, Damanik mengatakan bahwa orang Simalungun yang sudah menjadi Kristen tidak boleh menggunakan unsur-unsur kebudayaan, segala tarian, nyanyian, dan alat musik yang bersumber dari pemujaan roh nenek moyang tidak boleh lagi dipergunakan karena di dalamnya banyak mengandung unsur-unsur kegelapan. Orang Kristen juga dilarang untuk mengikuti acara adat yang diselenggarakan oleh mereka yang belum percaya (Damanik 2012, 166-167). Namun, lambat laun para zendeling semakin memahami dan semakin menyelami kehidupan orang-orang Simalungun dan memberikan tempat bagi kebudayaan untuk mewarnai Kekristenan orang Simalungun sehingga Kekristenan Simalungun memiliki identitas Simalungun. Sehingga pada periode 1970-1990, orang Simalungun kembali mengadopsi budaya mereka dan memasukkannya ke dalam peribadahan, baik nyanyian, tarian, alat musik, maupun acara adat (Damanik 2012, 408).

  1. Pengadaan Literatur

Dalam perkembangan Kekristenan di Simalungun, orang Simalungun sangat membutuhkan literatur-literatur dalam bahasa Simalungun. Melalui kehadiran literatur tersebut, diharapkan dapat semakin memajukan orang Kristen Simalungun dan membantu mereka dalam menghayati dan mengungkapkan iman mereka menggunakan bahasa mereka sendiri (Damanik 2012, 197). Salah satunya adalah dengan cara mendirikan Komite Na Ra Marpoda (Perkumpulan yang ingin memberi nasihat) tahun 1928. Melalui organisasi inilah dilakukan penggalakan dan penyebarluasan literatur berbahasa Simalungun.

Perjumpaan Injil yang bernuansa barat dengan kebudayaan Simalungun tentu memiliki pengaruh besar terutama di dalam penerjemaahan Alkitab. J. Wismar Saragih, Jason Saragih dan Kerpanius Purba memiliki andil yang besar dalam penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa Simalungun (Damanik 199). Hasil yang terlihat adalah banyaknya buku yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Simalungun di periode 1930-1931. Buku-buku tersebut di antaranya adalah Haleluya (buku nyanyian rohani bahasa Simalungun), Katekismus Martin Luther, Perjanjian Lama, dan renungan harian.

Pada tahun 1944, J. Wismar mendirikan Kongsi Bible Simalungun (Persatuan Alkitab Simalungun) yang secara khusus bertujuan untuk menerjemahkan Alkitab ke bahasa Simalungun (Lukito 2004, 42). Dalam usahanya untuk menerjemahkan Alkitab, J. Wismar dibantu oleh beberapa orang dari RMG, di antaranya adalah H. Volmer. Pada tanggal 2 Agustus 1952, J. Wismar berhasil menyelesaikan terjemahan PB ke dalam bahasa Simalungun. Selain pengadaan buku rohani, Komite Na Ra Marpodah juga menerbitkan buku panduan untuk belajar bahasa Simalungun. Sehingga orang asing bisa belajar. Penerjemahan literatur ini mampu menarik perhatian mereka yang belum percaya untuk masuk ke Kristen. Pada tahun 1970, untuk pertama kalinya GKPS memiliki Alkitab (PL dan PB) dalam bahasa Simalungun (Damanik 2012, 347).

  1. Tata Ibadah

Bentuk tata ibadah GKPS hampir sama dengan tata ibadah HKBP. Damanik mencatatkan bahwa pada umumnya bentuk tata ibadah yang dipakai oleh gereja-gereja hasil penginjilan RMG di Indonesia, mengikuti pola tata ibadah yang ada di Jerman. Pada tahun 1903, Jung dan Steinsieck, berhasil menyusun Agenda (Buku tata ibadah) yang digunakan di Gereja Batak (Damanik 2012, 371). Pada tahun 1905, August Theis menyusun tata ibadah untuk kebaktian Minggu dengan bentuk yang lebih tradisional untuk jemaat-jemaat di Simalungun dan pertama kali digunakan di jemaat Raya Tongah pada tahun 1912.

Urutan tata ibadah karya Theis pada waktu itu ialah menyanyi, berdoa, pengakuan iman, menyanyi (persembahan pertama), khotbah dan doa, menyanyi (persembahan kedua) dan berkat. Jika ada jemaat yang hendak di baptis, maka pembatisan dilakukan setelah pengakuan iman atau sebelum khotbah. Jika diadakan perjamuan kudus, maka akan diadakan setelah khotbah atau sebelum berkat. Tata ibadah ini tidak berbeda jauh dengan tata ibadah yang digunakan oleh GKPS pada umumnya di masa kini.

Tata kebaktian yang digunakan memperlihatkan corak kerohanian yang pietistis (Damanik 2012, 372). Hal ini telah diajarkan oleh para zendeling sejak dulu. Selama kebaktiak berlangsung, diharapkan jemaat bisa tertib dalam mengikuti ibadah. Para zendeling juga selalu mengingatkan bahwa gereja adalah rumah Tuhan, suatu tempat yang kudus untuk bertemu dan memuji Tuhan. Jika ada bayi yang menangis, petugas gereja segera akan menyuruh ibunya untuk keluar sebentar dan menenangkan anaknya. Jika ada yang tertidur, petugas gereja akan membangunkannya. Para zendling berusaha agar ibadah berlangsung dengan khusyuk dan tanpa gangguan apa pun. Hal ini terbawa hingga sekarang, namun pada masa kini ibu yang anaknya menangis aka langsung berinisiatif untuk keluar dari gereja dan menenangkan anaknya.

Ketenangan dalam mendengarkan khotbah ternyata juga dipengaruhi dari kebiasaan agama suku. Damanik mencatatkan bahwa di dalam agama suku di Simalungun, ketika datu bolon atau imam besar berkhotbah, semua warga yang hadir akan dengan tenang mendengar khotbahnya. Tidak ada satu pun suara maupun gerekan. Mereka percaya bahwa ibadah yang tidak khusyuk akan menimbulkan murka naibata atau roh-roh (Damanik 2102, 372). Sejak 1978, GKPS menerima dan mengakui tiga jenis Pengakuan Iman di luar pengakuan iman yang ada di tata gereja GKPS, yaitu Apostolicum, Niceanum, dan Athanasianum. Ketiga jenis ini tentu sudah tidak asing lagi bagi warga jemaat GKPS, sebab sudah sering digunakan secara berganti-gantian.

Hingga tahun 1980, GKPS masih mengikuti tata ibadah HKBP. Namun, setelah tahun 1980, GKPS melakukan pembaharuan tata ibadah, salah satunya adalah lagu pembukaan. Lagu pembukaan diubah menjadi votum dan introitus. Hal ini dikarenakan bahwa nyanyian pembukaan terkesan sebagai nyanyian untuk menunggu jemaat-jemaat yang telat (Damanik 2012, 373).  Hingga tahun 1990, GKPS memiliki 3 model tata ibadah (Model A, B, dan C). Setelah tahun 1990, GKPS menambah dua model liturginya. Hingga sekarang GKPS memiliki 5 model liturgi. Kelima model ini digunakan berganti-gantian setiap minggunya. Berkembangnya liturgi di GKPS dipengaruhi oleh cara pandang bahwa liturgi bukanlah sesuatu yang tidak bisa diubah. Seiring dengan berkembangnya pemahaman teologi di kalangan GKPS, maka liturgi juga akan semakin berkembang. Tata ibadah tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang magis, namun dipandang sebagai cara Allah berdialog dengan umat-Nya.

 

Refleksi

Kurangnya pemahaman para zendeling untuk membaca situasi, kondisi, dan budaya orang Simalungun pada saat itu menyebabkan lambatnya penyebaran Injil di tanah Simalungun. Selain itu, kurangnya perhatian kepada orang-orang di Simalungun juga menjadi hal yang sangat disayangkan dari Batakmission dan HKBP. Sikap GKPS untuk mempertahankan budayanya menjadi sebuah contoh nyata bahwa Kekristenan itu tidak selalu identik dengan Barat. Walaupun Kekristenan di Indonesia dibawakan oleh orang Barat, namun bukan berarti hal itu bisa merusak kebudayaan orang Indonesia yang telah ada.

Hasil nyata bahwa bahasa ibu mampu memenangkan jiwa-jiwa terlihat nyata ketika orang Simalungun dimenangkan dengan bahasa Simalungun. Hal ini memperlihatkan bahwa ternyata Injil juga mampu berkomunikasi dengan orang Simalungun. Munculnya beberapa literatur dalam bahasa Simalungun membuat orang semakin mengenal Kristus. Kemandirian GKPS menjadi wujud nyata dari tanggung jawab untuk mendayagunakan semua potensi yang telah dikaruniakan Yesus untuk memberitakan Injil.

Perjumpaan Injil dengan kebudayaan tidak bisa semata-mata kita pandang sebagai persoalan etis saja. Jika kita hanya memandangnya sebagai persoalan etis saja, maka kita akan menempatkan kebudayaan sebagai obyek yang selalu bertentangan dengan Injil. Kita tidak bisa mengklaim secara sepihak bahwa kebudayaan kita adalah yang paling benar, dan yang lain salah. Hal-hal yang bertentangan dengan budaya kita harus ditaklukkan. Tidak ada satu pun kebudayaan yang bisa kita klaim sebagai kebudayaan yang paling benar.

 

Daftar Acuan

Aritonang, Jan dan Karel Steenbrink. 2008. A History of Christianity in Indonesia. Leiden & Boston: Brill.

Charles, Kraft. 1981. Chirstianity in Culture: A study in dynamic biblical theologizing in cross-cultural perspective. Maryknoll: Orbis Book.

Damanik, Jan. 2012. Dari Ilah Menuju Allah. Yogyakarta: ANDI Offset.

Dasuha, Juandaha dan Martin L. Sinaga. 2003. Tole! Den Timorlanden das Evangelium! Pematang Siantar: Kolportase GKPS.

GKPS, Pimpinan Pusat. 1963. 60 Tahun Injil Kristus di Simalungun. Medan: Luhur.

Hutahuruk, J. R. 1993. Kemandirian Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Kane, Herbert. 1978. Understanding Christian Mission. Michigan: BBH.

Kruyt, A. C. 1976. Keluar Dari Agama Suku Masuk Ke Agama Kristen. Terjemahan Th. Van Den End. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Lukito, Martin. 2004. Identitas Poskolonial “Gereja Suku” dalam Masyarakat Sipil. Yogyakarta: LKiS

 

Sumber: https://pmtagkps.wordpress.com/2016/02/25/sejarah-singkat-gkps-dan-perjumpaannya-dengan-budaya-simalungun/