“TADING I LOBEI” SOAL OTORITA DANAU TOBA
<Sambungan, Bagian Kedua dari 2 Tulisan – Habis >
O l e h
Drs Rikanson Jutamardi Purba, Ak
Pendiri KoRaSSS
(Koalisi Rakyat untuk Siantar-Simalungun Sejahtera)
Di Siantar-Simalungun ini, ada pula istilah “tading i lobei” (ketinggalan di depan).
Biasanya, ketinggalan itu posisinya di belakang, tetapi yang ini, ketinggalannya justru di depan.
Frasa ini menunjuk pada orang yang rada-rada lemah otak (lemot), sehingga tidak antisipatif/adaptif terhadap tren atau kecenderungan zaman, sehingga senantiasa tertinggal tapi tak punya waktu lagi untuk mengejar ketertinggalan itu.
“TEMPALAH besi ketika panas dan ‘logou ni ari do panjomuronkon’ (menjemurlah ketika matahari terik)” adalah ungkapan agar pintar-pintar memanfaatkan momentum. Pemkab Simalungun perlu melakukan penyesuaian-penyesuaian dalam RPJMD 2016-2021 untuk memanfaatkan momentum sehubungan telah ditandatanganinya Perpres Nomor 49 Tahun 2016 tentang Badan Otorita Pengelola Kawasan Pariwisata Danau Toba (atau biasa disingkat jadi “Otorita Danau Toba”) oleh Presiden Jokowi. Kalau tidak, mungkin orang lain sudah ke mana, kita masih di mana.
Nota jawaban Bupati Simalungun terlalu teknis dengan menyatakan antara lain: penataan KJA (Keramba Jaring Apung) agar benar-benar ramah lingkungan, pembukaan jalan di Haranggaol melalui TMMD, penataan pantai bebas Parapat, pelaksanaan Pesta Rondang Bintang (PRD) setiap tahun (yang begitu-begitu saja, bukan seperti Festival Jember, misalnya), pengembangan rest area (tempat istirahat dalam perjalanan), pembenahan Rumah Bolon bekerjasama dengan Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Aceh (yang sebenarnya telah lebih dulu digagasi oleh Forcabups yaitu sebuah lembaga partikelir yang dikomandani oleh Jordi Purba, SE), renovasi makam “raja marpitu” (raja nan tujuh) Simalungun, promosi pariwisata melalui PRSU (Pekan Raya Sumatera Utara), dan kerjasama dengan Akpar (Akademi Pariwisata) Provinsi Sumatera Utara.
Masyarakat membayangkan bahwa Pemkab Simalungun akan berpikir lebih strategis ketika menyikapi ODT ini. Badan ini tentunya akan dikelola oleh para profesional, layaknya Singapore Tourism Promotion Board. Tentunya Pemkab Simalungun perlu menempatkan orangnya dalam badan tersebut sebagai contact person atau counterpart (mitra) yang sepadan. Hal ini yang tidak muncul dalam dua sidang paripurna berturut-turut tersebut.
Bukankah dalam konteks pengembangan pariwisata Danau Toba tersebut Pemkab Simalungun harus menampilkan destinasi dan jenis wisata yang unik? Katakanlah pembuatan cable car yang menghubungkan pantai Simarbabi dan Sigumba-gumba di atas pantai Haranggaol; parasailing dan jet-skiing” di Tanjung Unta/Sipolha; flyboarding layaknya lumba-lumba dan power boating di Parapat; mandi air panas alami di Tinggi Raja; hiking serta mountain climbing di Dolog Simarsolpah dan Simarsumpit; rafting di sungai Bah Bolon; tea walking di perkebunan teh Sidamanik; petik buah atau bunga langsung di kebunnya di Kecamatan Purba, Silimakuta, dan Pamatang Silimahuta; atau restoran pentagon di Simarjarunjung?
Tak lupa pula wisata sejarah di makam Raja Tanohjawa (Sinaga), makam Raja Siantar (Damanik) dan Museum Simalungun (dengan syarat, telah direvitalisasi), makam Raja Panei (Purba Dasuha) dan rumah raja yang perlu dibangun kembali setelah pernah dibakar, makam Raja Raya (Saragih Garingging), Rumah Bolon Purba dan makam Raja Purba (Purba Pakpak), makam Raja Silimakuta (Girsang), dan makam Raja Dologsilou (Purba Tambak).
Tentu ada lagi wisata kuliner yang unik seperti teh Bah Butong, specialty coffee Tigaraja dan Simalungun Coffee, Bius Cantik (bagod/tuak), hinasumba, pulur-pulur, labar, atau bahkan revitalisasi restoran berbentuk ikan emas di Sipolha yang sempat digunakan sebagai setting lokasi film “Jagal – The Act of Killing” besutan sutradara Belanda, Joshua Oppenheimer.
Belum lagi pertenunan hiou/ulos; sanggar tortor (tari), gonrang, dan teater rakyat (cerita Si Jonaha atau Simarsingkam); pembuatan gonrang, miniatur rumah bolon, uhir/pinar, buluh marsurat dan laklak; serta cenderamata lainnya.
Sekali lagi, destinasi dan produk wisatanya harus unik, karena akan bersaing head-to-head dengan Singapura, Malaysia, Thailand, Batam, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Bali, dst.
Hobi gonta-ganti pejabat
SELAMA ini, alasan kerapnya gonta-ganti pejabat Pemkab Simalungun adalah untuk mendapatkan “the right man on the right place”. Alasan ini sekonyong-konyong gugur setelah adanya pejabat yang beberapa kali dimutasi dan ternyata kembali lagi ke tempat semula, sarjana pertanian jadi Kadis Bina Marga atau camat, dan sarjana non-pendidikan jadi Kadis Pendidikan. Maka jangan salahkan rakyat jika menyebut itu sebagai hobi Bupati Simalungun.
Hobi gonta-ganti pejabat inilah –padahal menurut peraturan, kepala daerah terpilih baru boleh melakukan penggantian pejabat eselon enam bulan setelah dilantik (di Simalungun itu berarti baru Oktober 2016)– yang memicu turunnya surat teguran Gubernur Sumatera Utara No. 800/4636/2016 tanggal 17 Juni 2016 perihal Mutasi di Pemerintahan Kabupaten Simalungun. Nota jawaban Bupati Simalungun menyatakan bahwa Pemkab akan segera mengklarifikasi dan memberikan penjelasan (kepada Gubernur Sumatera Utara).
Sebenarnya, tidak ada yang perlu diklarifikasi atau dijelaskan, karena gonta-ganti pejabat selama ini tampaknya tidak didasarkan pada mekanisme yang jelas serta tidak berbasis kinerja (merit system) dan terukur. Apakah penentuan pejabat diukur berdasarkan “batu demban” juga?
Haruskah kita bersyukur atas opini WDP?
KETIKA pengelolaan aset atau barang milik daerah (BMD) Kabupaten Simalungun masih amburadul dan hal ini tetap menjadi temuan pemeriksaan oleh BPK RI, tampak bahwa selama lima tahun pertama periode kepemimpinan JR Saragih, tidak dilakukan upaya-upaya serius untuk menata aset atau barang milik daerah. Pengecualian (qualification) kali ini pun –sehingga LKPD Pemkab Simalungun tahun 2015 memeroleh opini Wajar dengan Pengecualian (WDP) dari BPK RI setelah tahun-tahun lalu selalu disclaimer– seyogianya menjadi PR yang harus dikerjakan dan diselesaikan dengan penuh komitmen.
Jika berpikir positif (positive thinking), kita tentu harus mensyukurinya. Pemkab Simalungun pun pantas diapresiasi untuk ini, jika BPK RI mengeluarkan opini secara objektif. Jangan kiranya terjadi seperti kasus RS Sumber Waras di DKI Jaya, dimana BPK RI mendapat sorotan miring dari masyarakat. Sangat disayangkan jika auditor negara ini obral opini pula.
Fraksi Gerindra –yang pemandangan umumnya dibacakan oleh Sastra Joyo Sirait, SH– sangat concern (peduli) soal audit dan opini BPK RI ini. Mereka menyoroti soal ketidakpatuhan (uncompliance) Pemkab Simalungun terhadap peraturan perundang-undangan soal pemungutan PBB P2, denda keterlambatan 9 paket pekerjaan (proyek), realisasi upah pekerjaan dan as built drawing (gambar jadi), kekurangan kas di BPMPN, pertanggungjawaban pemberian hibah/bansos, kelebihan perhitungan pada 24 paket pekerjaan (proyek) di Dinas Bina Marga, ketidaktertiban pengelolaan PAD di RSUD Perdagangan, pengelolaan kas bendahara penerima di 15 SKPD, pengelolaan persediaan di 54 SKPD, dll.
Memang perolehan opini WTP (Wajar Tanpa Pengecualian) sekalipun, belum menjamin bahwa LKPD bebas korupsi, karena audit BPK RI atas LKPD adalah bersifat umum (general audit), yakni soal kewajaran penyajian laporan keuangan berdasarkan Prinsip Akuntansi Pemerintahan dan kepatuhan terhadap aturan-aturan pengelolaan keuangan yang berlaku umum. Soal korupsi memang harus didalami lagi melalui investigative dan/atau forensic audit yang menjadi domain KPK.
Tapi adalah lebih bagus lagi jika perolehan opini WTP menjadi target kinerja “wow” di tahun-tahun mendatang. Jadi, tak cukup sekadar dijawab dengan kalimat “… akan menjadi perhatian kami dan kami ucapkan terima kasih”. Jawaban semacam itu tak ubahnya seperti jawaban dalam rapat-rapat gereja, organisasi kemasyarakatan (ormas), atau serikat, yakni dengan kalimat “Siparayakon ma ai.”
Jika pemerintah (daerah) hanya bisa memberikan jawaban seperti itu, yang semacam itu bisalah disebut pemerintahan “siparayakon”. n