Custom Search

PEMERINTAHAN “SIPARAYAKON”

(Bagian Pertama dari 2 Tulisan)

 

 O l e h

Drs Rikanson Jutamardi Purba, Ak

Pendiri KoRaSSS

(Koalisi Rakyat untuk Siantar-Simalungun Sejahtera)

rikanson-jutarmadi-purba2

Rikanson Jutarmadi Purba

Di masyarakat Siantar-Simalungun, ada ungkapan yang sering dilontarkan, yakni “siparayakon”.

Arti denotatif (kamus)-nya adalah: sesuatu yang kita kejar bersama. Tapi, makna kata ini sebenarnya telah bergeser menjadi semacam apologia, sebuah permohonan maklum yang sesungguhnya adalah suatu penghindaran terhadap tindak lanjut perbaikan yang sejati.

 

RABU (10/08), di gedung DPRD Kabupaten Simalungun, Pamatangraya, digelar sidang paripurna DPRD dengan materi pemandangan umum fraksi-fraksi di DPRD atas Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPj) Akhir Tahun Anggaran Bupati Simalungun Tahun 2015, ranperda tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD Tahun Anggaran 2015, ranperda tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kabupaten Simalungun (RPJMD) Tahun 2016-2021, ranperda tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah Kabupaten Simalungun, dan penyampaian  Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK RI atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Tahun 2015.

RABU (12/08) lusanya, di tempat yang sama, digelar sidang paripurna dengan materi penyampaian nota jawaban Bupati Simalungun atas pemandangan umum fraksi-fraksi. Ada tujuh fraksi di DPRD Kabupaten Simalungun, yakni: Fraksi Demokrat Bersatu, Fraksi Golongan Karya, Fraksi PDI Perjuangan, Fraksi Gerindra, Fraksi Hanura, Fraksi Persatuan Amanat Sejahtera, dan Fraksi Nasdem.

Dari paling sedikit 45 topik bahasan, ada 7 topik yang menjadi sorotan utama fraksi-fraksi tersebut di atas, yakni: 1) penganggaran serta rendahnya realisasi dan penyerapan anggaran, 2) SiLPA Rp 103.268.512.358,77, 3) tenaga honorer atau pegawai tidak tetap, 4) rendahnya kualitas infrastruktur, 5) RPJMD 2016-2021 dan sinkronisasinya dengan Badan Otorita Pengelola Kawasan Pariwisata Danau Toba (disingkat Otorita Danau Toba), 6) teguran Gubernur Sumatera Utara atas mutasi-mutasi pejabat di Pemkab Simalungun, dan 7) opini WDP dan temuan-temuan pemeriksaan oleh BPK RI atas LKPD Tahun 2015.

Sementara 38 topik sisanya terkesan dipertanyakan sekenanya oleh fraksi-fraksi dan dijawab sekenanya pula oleh Bupati Simalungun. Dikatakan sekenanya, karena pemandangan umum fraksi-fraksi kurang greget dan kurang menyentuh hal-hal substansial serta jawaban Bupati Simalungun pun sangat normatif, mengulang jawaban tahun-tahun lalu, reaktif (alih-alih bersikap proaktif), dan miskin terobosan.

Setelah menjalankan pemerintahan Kabupaten Simalungun selama lima tahun pertama 2010-2015, Bupati DR JR Saragih, SH MM tampaknya belum dapat memenuhi harapan umum masyarakat Simalungun. Terpilihnya JR Saragih jadi Bupati Simalungun untuk lima tahun kedua 2016-2021, bukanlah karena kinerjanya yang serba “wow”, melainkan lebih disebabkan tidak adanya pesaing yang dipandang lebih baik daripadanya. Itu pun masih menyisakan satu hal besar, yakni lowongnya jabatan wakil bupati, dimana Oktober 2016 dan sesudahnya, masyarakat Kabupaten Simalungun melalui DPRD serta pemerintah atasan dan pemerintah pusat harus menyikapinya. Kondisi pemerintah Kabupaten Simalungun hanya sedikit lebih baik daripada Kota Pematangsiantar yang hingga saat ini menjadi satu-satunya daerah yang gagal melaksanakan pilkada serentak 2015/2016.

Dari pemandangan umum dan nota jawaban tersebut, ketujuh topik sorotan akan diuraikan dengan sudut pandang seorang anggota masyarakat yang kebetulan ikut dalam sidang-sidang paripurna tersebut di atas.

Mimpi e-Budgeting

KETIKA Ahok sebagai Gubernur DKI Jaya getol menerapkan dan memanfaatkan e-Budgeting sebagai tool (perangkat) penganganggaran sekaligus pengendaliannya, tak seorang pun yang menyinggung soal ini. Perangkat inilah yang digunakan untuk “mengunci” anggaran setelah Ahok memelototi satu persatu nomenklatur anggaran, sehingga keluar ungkapan “Pemahaman nenek lu” yang menghebohkan itu, karena banyak anggaran yang dinilai tidak efektif dan memboroskan anggaran.

Pemanfaatan e-Budgeting sebagai perangkat pengendali anggaran ini pula yang mencuatkan kasus UPS (Uninterruptible Power System) yang menyeret nama Haji Lulung dan oknum pimpinan DPRD Provinsi DKI Jaya. Adalah sebuah apologia juga jika Pemkab Simalungun menyatakan bahwa penerapan e-Budgeting tidak dapat dilakukan karena ketidakmampuan sumberdaya manusianya. Bukankah mereka bisa di-trained, bahkan bisa disuruh belajar ke Provinsi DKI Jaya atau daerah lain yang telah menerapkannya?

Sah-sah saja jika masyarakat Simalungun memimpikan penerapan e-Budgeting di daerah ini, karena sebenarnya, alokasi anggaran dan pemanfaatannya jauh dari jangkauan pengetahuan dan kontrol masyarakat. Hampir tak ada yang bisa dilakukan masyarakat –ketika wakil-wakilnya di legislatif di bawah kendali eksekutif (pemerintahan yang excecutive heavy, berat ke eksekutif)– kecuali sekadar mengeluh, dimana 70 persen lebih APBD Kabupaten Simalungun terpakai hanya untuk membelanjai birokratnya dan sudah dikategorikan sebagai daerah yang hampir bangkrut seperti kota Detroit di Amerika Serikat itu.

Ada SiLPA, tapi sekaligus ada pula hutang

APBD Kabupaten Simalungun menyisakan SiLPA (Sisa Lebih Perhitungan Anggaran) sebesar Rp 103.268.512.358,77 eks dana sertifikasi guru (Rp 86.149.200.124,77) dan dana kapitasi JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) di rekening puskesmas-puskesmas (Rp 17.105.931.039), tapi berkebalikan dengan itu, ternyata masih ada hutang Pemkab Simalungun kepada pihak ketiga per akhir 2015 sebesar Rp 9.357.805.320.

Jika mengacu kepada basis akrual (accrual basis) akuntansi pemerintahan, munculnya pengakuan hutang ini sudah jelas mendasarkan diri pada laporan progres pengadaan/pembangunan yang dilaksanakan oleh pihak ketiga dan sudah diterima (disahkan persentase progresnya) oleh Pemkab, namun uang yang menjadi hak pihak ketiga ini ternyata belum dibayarkan. Memang dana SiLPA ini tak bisa digunakan untuk kepentingan lain sebagaimana nota jawaban Bupati Simalungun, tapi tampak jelas bahwa pengelolaan anggaran sangat tidak efektif: punya SiLPA, tapi sekaligus masih punya hutang.

Besarnya SiLPA eks dana kapitasi JKN ini kemungkinan besar disebabkan oleh belum tersosialisasikannya dengan baik program JKN ke tengah-tengah masyarakat walaupun puskesmas sudah digembar-gemborkan buka 24 jam atau bisa pula disebabkan hal-hal sepele, yakni belum terpenuhinya kelengkapan-kelengkapan dokumen/persyaratan untuk pencairan dananya, sehingga dana tersebut jadi SiLPA dan menjadi sia-sia.

Tenaga honorer versus anggaran yang berat di ongkos

MASIH hangat pergunjingan di tengah-tengah masyarakat soal pemberhentian honor untuk tenaga honorer atau pegawai tidak tetap (PTT) di berbagai SKPD. Fakta menunjukkan bahwa sebenarnya Pemkab Simalungun sudah kebanyakan pegawai, hanya saja distribusinya tidak merata. Ambil contoh distribusi guru. Dengan total guru SD-SLTA sebanyak 13.008 orang dan siswa 168.962 orang, berarti nisbah (rasio) antara guru : siswa adalah 1 : 13. Artinya, seorang guru sebenarnya hanya menangani 13 siswa. Tapi, fakta di lapangan, masih banyak sekolah yang kekurangan guru.

Persoalannya ada pada kebutuhan guru mata pelajaran (pada SLTP dan SLTA) yang belum sepenuhnya terpenuhi. Demikian juga tidak adanya insentif khusus bagi guru-guru di pedalaman, sehingga guru “berlomba ke kota”. Dan yang sering disebut-sebut adalah dampak keberhasilan program keluarga berencana –yang secara gamblang hanya dipahami sebagai pembatasan kelahiran (dengan slogan “dua anak cukup, laki-laki atau perempuan sama saja”)– sehingga banyak sekolah yang kekurangan murid.

Yang tidak tegas-tegas dipertanyakan adalah soal regrouping sekolah-sekolah sejenis di lokasi berdekatan yang kekurangan guru dan/atau kekurangan fasilitas belajar-mengajar. Tapi by-the-way (sambil lalu), bagaimana mungkin kebijakan-kebijakan yang dibutuhkan dapat diambil dengan tepat jika data-data nominatif pendidikan tidak dimutakhirkan? Faktanya, data jumlah sekolah, guru, dan murid versi Pemkab dan PGRI Kabupaten Simalungun pun masih berbeda satu sama lain, sebagaimana dituturkan Tumpak Silitonga, SPd, Ketua PGRI Simalungun sekaligus anggota Fraksi Nasdem.

Persoalan pokok lainnya menyangkut pegawai adalah produktivitasnya yang sedemikian rendah.  Bukankah sudah saatnya bagi pegawai Pemkab Simalungun diterapkan tunjangan kinerja daerah (TKD) seperti di DKI Jaya, karena berlebihnya pegawai dengan produktivitas rendah telah menyebabkan APBD berat di ongkos?

Pembangunan infrastuktur menggerakan ekonomi

DALAM kampanye putaran terakhir berupa debat kandidat yang diselenggarakan KPUD Simalungun di hotel PatraJasa Parapat, 17 November 2015, paslon JR Saragih-Amran Sinaga dalam pemaparan visi-misinya menjanjikan dana infrastruktur di tahun pertama pemerintahannya kelak berjumlah lebih-kurang Rp 400 miliar. JR Saragih (tanpa Amran Sinaga) telah menjalankan pemerintahan di tahun pertama. Perwujudan janji yang harus ditagih itu akan tampak pada PAPBD 2016 ini atau RAPBD 2017. Wait and see…!

Sebelum pilkada serentak 2015 (yang akhirnya untuk Kabupaten Simalungun diselenggarakan 2016), negative campaign terhadap JR Saragih diwujudkan dengan istilah “Jalan Rusak Semua”. Fakta di lapangan memang seperti itu. Sudah pembangunan infrastruktur (jalan, jembatan, irigasi, dll.) minim, kualitasnya pun sangat rendah. Mungkin, pengawasan lapangan terhadap proyek-proyek infrastruktur masih lemah dan praktik “batu demban” (sogokan agar mendapatkan proyek yang sudah harus disiapkan kontraktor bahkan jauh-jauh hari sebelum pengesahan RAPBD jadi APBD atau paket proyek dibagikan) masih berlangsung.

Adalah melenceng jauh dari harapan ketika nota jawaban Bupati Simalungun atas pertanyaan Fraksi Demokrat Bersatu (dibacakan oleh Betty Rodearni br Sinaga) adalah sebagai berikut: “Pemkab Simalungun akan menyusun Perbup tentang Klasifikasi Jalan di Kabupaten Simalungun sesuai dengan amanat UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu-lintas dan Angkutan Jalan”. Padahal permasalahan utamanya adalah pada bangunan yang tidak sesuai bestek. Memang kerusakan jalan banyak juga diakibatkan oleh pembiaran terhadap kendaraan yang over tonase.

Pemerintahan Jokowi-JK menyadari bahwa pertumbuhan ekonomi tidak cukup hanya digerakkan oleh konsumsi masyarakat (C = consumption), investasi (I = investment ), dan selisih ekspor-impor (X-I = eXport-import, yang di daerah wujudnya tampak pada perdagangan intersuler atau antardaerah), melainkan juga oleh belanja pemerintah (G = government expenditures). Mestinya Pemkab dan DPRD Kabupaten Simalungun segera sama-sama menyadari soal ini dan tidak berpikir hanya sebatas pendapatan asli daerah (PAD) yang sifatnya retributif/pemajakan. Apa yang hendak dipajaki jika ekonomi tidak tumbuh?

Lihatlah Pamatangraya sebagai ibukota kabupaten. Ketika pemerintah Provinsi Sumatera Utara melebarkan dan memuluskan jalan raya antara Damei Raya dan Kampung Baru, masyarakat merenovasi sendiri rumahnya. Restoran atau rumah makan bertambah, demikian juga warung atau toko ritel, dan juga toko material (panglong). Lapangan kerja bertambah dan kemudian ekonomi bergerak. Secara kasat mata, dampak semacam ini akan makin tampak ketika saat ini pelebaran jalan lanjutan antara Kampung Baru dan Raya Bayu tengah dikerjakan. Seperti itulah dampak langsung pembangunan infrastruktur itu. <Bersambung>

PEMKAB SIMALUNGUN TERTINGGAL SOAL OTORITA DANAU TOBA