Custom Search

Perda Suttil

Oleh Drs Rikanson Jutamardi Purba, Ak

“Pilkada kita ditunda.
Mereka menggunakan segala upaya dan dana untuk memenangi kasasi.
Biarkan saja begitu. Kita menggunakan apa yang tersisa pada kita.
Kita akan memenangi pertarungan ini, mereka pasti tak akan menyangka.
Saya akan mengusulkan perda Suttil sebagai bahan kampanye, sampai waktunya dilarang. Toh kita belum tahu, kapan pilkada tunda digelar. Mudah-mudahan di tahun baru 2016 ini. Kas kita sudah sangat menipis…, tinggal perda Suttil yang jadi senjata pamungkas kita.”

Si Ibu calon bupati dengan sangat berapi-api memberikan wejangan di depan tim sukses dan tim relawan yang tiba-tiba dikumpulkan di sebuah kafe di daerah Sipinggol-pinggol. Calon wakilnya, seorang lulusan institut teknologi ternama di republik ini, yang duduk di sebelah kirinya, dialah yang tadi subuh ditugasi meneleponi koordinator tim sukses dan tim relawan untuk meneruskan undangan pertemuan ini kepada anggota-anggota tim di tiga puluh satu kecamatan.
Sajian pecel lele di hadapan masing-masing hadirin telah ludes. Yang tersisa tinggal batok kepala lele lengkap dengan kumisnya. Jus alpukat, jus martabe (markisa dan terong belanda), atau jus jeruk, tinggal ampas. Datanglah aqua gelas, dan tinggal itulah yang diserapat-seruput hadirin, ditingkahi kebulan asap dari rokok yang dibagikan dalam piring setelah bungkusnya dibuka. Persis seperti rokok serikat tolong-menolong (STM) yang dibagi tuan rumah ketika “martonggo raja” (semacam rapat persiapan menjelang sebuah pesta).

“Bapak/Ibu sekalian, saya sangat berterima kasih atas kehadiran Bapak/Ibu. Kita akan berjuang habis-habisan untuk membangun Syimalungun ini. (Ini bukan kesalahan ketik, tapi si Ibu selalu menyebut ‘simalungun’ dengan ‘syimalungun’). Mereka pasti menggunakan segala upaya dan dana untuk memenangi kasasi. Biarkan saja begitu. Kita menggunakan apa yang tersisa pada kita. Kita akan memenangi pertarungan ini, mereka pasti tak akan menyangka.” Si Ibu semangat sekali, sampai-sampai beberapa kali dia harus mengelap hijabnya yang mulai basah oleh keringat di dahi.
Sang calon wakil mengernyitkan dahi sambil mengusap kumis “pulisi”-nya. Kumis yang “ngumpul di sisi”, seperti kumis lele tadi. Dia terhenyak oleh gagasan yang seolah-olah turun dari langit itu. Pun hadirin semua. Ada yang tanpa sadar membiarkan mulutnya termangap-mangap, hingga seekor lalat hinggap di bibir atas yang membuatnya tersadar untuk menutup mulut, sambil melirik kanan-kiri, siapa tahu ada yang curi-curi memfotonya seperti itu dan kelak mem-posting-nya ke facebook.
“Ibu,” kata sang calon wakil,“ saya belum menangkap ke mana arah pembicaraan Ibu ini.”
“Saya akan mengusulkan perda Suttil sebagai bahan kampanye, sampai waktunya dilarang. Toh kita belum tahu, kapan pilkada tunda akan digelar. Mudah-mudahan di tahun baru 2016 ini. Kas kita sudah sangat menipis…, tinggal perda Suttil yang jadi senjata pamungkas kita.”
“Apa-nya sebenarnya maksud Ibu?” tanya seorang anggota tim sukses. Kalau sang calon wakil saja bingung, apalagi dia.
“Kita harus menggunakan senjata pamungkas, yaitu perda Suttil. Logistik kita kali ini pun sebenarnya sudah agak merepotkan. Untunglah “Tulang ni dakdanak on” (sepupu laki-lakinya, seorang pengusaha telekomunikasi di Jakarta) mau turun tangan untuk menggerakkan crowdfunding dari klan marga mereka sedunia dengan mengintrodusir “Gerakan Sejuta Koin”.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

“Kami belum mengerti,” tukas sang calon wakil seolah mewakili kebingungan rekan-rekannya. “Mengapa tiba-tiba Ibu punya pemikiran mengenai perda Suttil ini? Apa yang sebenarnya Ibu maksudkan? Selama ini, sekali pun kita tidak pernah membicarakannya. Yang bermimpi-nya Ibu tadi malam hingga tiba-tiba ada semacam wangsit?” Sang calon wakil sebenarnya dari tadi dipenuhi pikiran, bagaimana nanti menyediakan uang bensin para hadirin ketika bubar acara ini?
Dari meja paling ujung, sayup-sayup terdengar celotehan seorang relawan kepada rekan yang duduk di sampingnya, “Yang mimpi-nya mungkin si Ibu tadi malam. Tak pernah disebut-sebutnya soal ini dalam pertemuan-pertemuan kita sebelum ini. Tiba-tiba saja si Ibu menyebut-nyebutkan soal perda Suttil.”
Si Ibu tak bisa menahan luapan hatinya. Dia mulai membuka cerita. “Tadi malam, datang seorang Ompung dalam tidur saya. Ompung ini perempuan, masih tampak cantiknya. Saat itu, saya duduk lesehan di pinggir sebuah kolam renang, rok saya sampai basah. Saya bermaksud mendinginkan badan, karena cuaca sangat panas. Hati saya galau, PT TUN membatalkan pencoretan mereka, padahal jelas-jelas tidak ada surat dari Panwaslih untuk keperluan sidang di PT TUN itu. Ketika putusan keluar, justru KPUD yang terkesan jadi “pemain”, bukan sebagai “juri” atau –paling tidak– sebagai “event organizer”.
Di saat itulah muncul Ompung dari dalam air kolam renang.
“Aih…, ini bulu tanganku merinding…!” Terdengar suara dari meja sebelah pojok kanan.
“Ompung berdiri dalam kolam sampai setinggi perut di atas pusar. Rambut ubannya basah, hidungnya bangir, kulitnya kuning langsat, dadanya masih berisi, dan di tangannya ada “bajut-bajut” terbuat dari pandan berwarna merah, putih, dan hitam. Saya agak kaget, karena melalui air kolam yang bening, pandangan saya menerawang sesuatu yang tidak biasa, kakinya tak kelihatan. Yang tampak malah sejak pusar ke bawah, terbentuk semacam ekor yang ditutupi sisik cantik mengilap.”
Suasana hening. Desahan napas si Ibu terdengar jelas dari belakang.
“Dari “bajut-bajut” tadi dikeluarkannya tiga helai sirih yang tampak sangat segar hijaunya, kapur yang dimasukkan dalam tube odol, bongkahan halus gambir dalam botol salep, pinang dibelah delapan dalam bekas aqua gelas, gongsengan beras Sinanggar dalam kertas obat apotik, dan tembakau Siloting dalam kaleng bekas minyak rambut Lavender. Ompung itu mengangsurkan semuanya ke saya sembari menyuruh saya mengunyah sirih setelah mengadon bumbunya. Ompung mengingatkan saya agar tidak lupa menggulung tembakau sebesar jempol dan menyempilkannya di antara bibir-kanan-atas-sebelah-dalam dan gusi.”
Keheningan justru makin mencekam. Sang calon wakil mengatupkan gigi atas dan gigi bawahnya rapat-rapat.
“Setelah mengunyah sirih dan “marsuttil”, saya merasakan sensasi yang luar biasa. Badan saya terasa sejuk, pandangan saya makin tajam, kulit saya terasa makin kencang, dan tiba-tiba libido saya bangkit. Saya jadi bergairah dan bersemangat. Pikiran saya jadi cerah dan kekuatiran hilang. “Suttil itulah yang akan memenangkanmu…!” Itu saja kalimat yang keluar dari bibir merekah si Ompung dan seketika saja dia menghilang ke dalam air kolam dan … saya terbangun.”
Lantas si Ibu melanjutkan wejangannya.
“Ketika kita menang, program seratus hari saya yang pertama adalah memerintahkan Dinas Pertanian, Badan Koordinasi Keluarga Berencana, Dinas Koperasi dan UMKM, dan Dinas Sosial bekerjasama dengan pihak universitas di daerah ini untuk menyiapkan naskah akademiknya dan kemudian menyusun rancangan perda Suttil. Saya tenggat mereka enam puluh hari. Di empat puluh hari terakhir, Tim Penyusun Produk Hukum Daerah yang dibentuk bersama SKPD-SKPD tersebut akan saya minta menuntaskan pembahasan draf ranperda bersama para ahli.”
“Kami belum mengerti maksud Ibu,” terdengar celetukan dari baris tengah. “Mengapa dan untuk apa kita bicara perda sekarang? Kita ‘kan fokus bagaimana memenangi pilkada ini?”
“Ini pesan Ompung, kalau kita mau menang…! Selama ini, saya sudah menggerakkan kaum perempuan di “bawah”. Kita justru mencari taktik dan strategi memikat hati kaum perempuan di “atas”. Bukankah kita saja, dan bukan yang lain, yang selama ini serius menggarap suara kaum perempuan? Bukankah kita yang selama ini sangat peduli dengan kaum ini? Jangan salah Bapak-bapak…, selama ini kami kaum perempuan tidak pernah bisa membatasi Bapak-bapak merokok. Padahal tidak jarang, uang belanjaan juga yang Bapak-bapak gerogoti untuk dibakar jadi asap dan abu. Kami kaum perempuan pun sebenarnya punya hak untuk menikmati hal semacam itu melalui “marsuttil”. Kita harus menegakkan asas kemanusiaan; kesamaan dalam hukum dan pemerintahan; keseimbangan, keserasian, dan keselarasan; dan bukankah ini akan meningkatkan keunggulan lokal kita di kemudian hari? Bukankah ibu-ibu pedagang sirih meningkat drastis omsetnya?”
Bahasa tubuh hadirin menunjukkan kebingungan. Sang calon wakil sibuk meng-SMS dan kadang-kadang menelepon orang yang disebut sebagai “Tulang ni dakdanak on” tadi. Dia kehilangan konsentrasi mengikuti wejangan si Ibu yang –bagi dia dan menurutnya juga bagi yang lain– sangat aneh ini. Dia tak kuasa menyela wejangan si Ibu, karena wejangan disampaikan dengan penuh gairah dan semangat yang berapi-api.
“Apakah Ibu-ibu di sini senang kalau kita dukung Ibu-ibu “marsuttil”? Masak Bapak-bapak saja yang boleh menjalankan hobi mereka merokok?”
“Senang, Bu…!” jawab ibu-ibu seperti berkoor.
“Apakah Ibu-ibu setuju kita buat perda Suttil?”
“Setuju, Bu…!” koor lagi.
“Apakah Bapak/Ibu yakin kita akan menang?”
“Yakin, Bu…!” hadirin seakan terhipnotis begitu saja, serempak menyatakan persetujuan dan keyakinan mereka.
Kali ini, sang calon walikota menyela si Ibu. “Sudah Bu, sudah Bu, uangnya telah ditransfer pakai m-banking. Uangnya sudah masuk.”
“Mari Bapak/Ibu. Sebelum pertemuan ini bubar, jangan lupa membubuhkan tanda tangan pada daftar hadir. Ada sedikit uang bensin dan bagi ibu-ibu, ditambahkan lima puluh ribu rupiah untuk membeli sirih Tigabinanga satu “podi”, lengkap dengan kapur, gambir, pinang, beras Sinanggar, dan tembakau satu gelondong. Ibu-ibu silakan “marsuttil”. Bagikan juga kepada ibu-ibu tetangga. Kita terus memperjuangkan emansipasi. Hidup Ibu-ibu…!”
“Hidup…!” balas kaum ibu.
“Kita menang???”
“Menang, menang, menang…!”
Bapak-bapak hanya terkekeh, “He…, he…, he…!” sembari menandatangani daftar hadir dan menerima uang bensin.
Pertemuan bubar dan si Ibu merasa puas.

————————————————————————————————————————————————————-