ASAL-USUL TUAN HOJONG HATARAN
(BERKEDUDUKAN DI PAMATANG DJORLANG HATARAN)
Oleh: Lettu (Purn.) Toean Moesa Sinaga Nadihojong Hataran
(Sumber: facebook…)

Tuan Djorlang Kataran
Hatta, maka adalah seorang bernama Tuan Hojong Hataran jang datangnja dari Pulau Djawa ke Tanah Atjeh dengan maksud hendak menambah pengalaman dan ilmu pengetahuan serta untuk mengembangkan kepandaianja pula di Pulau Sumatera.
Sesudah beberapa bulan tinggal di Tanah Atjeh, ia pun meneruskan perdjalanannja arah ke Selatan. Sampaillah dia di daerah Toba (Tapanuli). Daerah Toba itu diperintahi oleh Radja Urat.
Tuan Hojong Hataran pandai membawakan dirinja terhadap seseorang maka ia pun dapat bersahabat karib dengan Radja Urat, terus sebagai orang bersaudara. Walaupun persahabatan Radja Urat dan Tuan Hojong Hataran sudah begitu akrab, tetapi tjita-tjita Tuan Hojong Hataran untuk meneruskan perdjalanannya tak dapat dipengaruhi rapatnja persahabatan mereka itu. Ia tetap bertekad meneruskan perjalanannja.
Setelah beberapa bulan tinggal di Urat, ia pun minta diri untuk meneruskan perdjalanannja ke Girsang Sipangan Bolon. Sebagai membuktikan keakraban persahabatan Radja Urat beserta pegawainja mengantarkan Tuan Hojong Hataran ke Girsang Sipangan Bolon.
Di sana mereka disambut oleh Radja Girsang Sipangan Bolon. Diadakanlah pesta tamu tudjuh hari tudjuh malam. Dipesankan Radja Urat supaja Radja Girsang Sipangan Bolon menerimanja dengan sebaik-baiknja karena Tuan Hojong Hataran telah dianggapnja seperti saudaranja sendiri. Sesudah keramaian adat ini sudah selesai, maka Radja Urat pun kembali ke Toba. Maka tinggallah Tuan Hojong Hataran di Girsang Sipangan Bolon sebagai tamu di sana. Sebagaimana waktu di Urat, begitu pula halnja di Girsang Sipangan Bolon, Tuan Hojong Hataran perbuatan serta serta kata-katanja menarik hati ra’jat dan masjarakat sehingga ia mendjadi kesajangan dihormati orang di sana.
Setelah beberapa bulan tinggal di sana, maka niat semula untuk meneruskan perdjalanannja timbul kembali. Maksudnja itu dilahirkanja kepada Radja Girsang Sipangan Bolon. Oleh karena hadjat dari Tuan Hojong Hataran ini tak dapat dihalangi, maka dengan berat hati Radja Girsang Sipangan Bolon pun mengantarkan Tuan Hojong Hataran dengan beberapa orang pengiringnja sampai ke perbatasan Djorlang Hataran. Dari Sana Tuan Hojong Hataran berdjalan sendiri. Hutan rimba jang sunji itu dilaluinja dengan tidak gentarnja. Niatnja adalah untuk bertapa pada suatu tempat jang baik untuk memperdalam pengetahuannja.
Maka sampailah dia pada serumpun rotan jang lebat di antara sungai Bah Sigambur-gambur dengan sungai Bah Sombah Huta. Kedua sungai ini bertemu dekat di situ. Inilah jang bernama Tapian Boru Hojong. Di sana ia tinggal beberapa bulan dengan menahan makan dan minum guna menuntut ilmu jang gaib-gaib. Iklim di sana dingin sedjuk, sehingga dengan demikian Tuan Hojong Hataran merasa senang tinggal di sana untuk menuntut ilmu gaib dengan tjara bertapa di situ.
Pada suatu hari dalam musim kemarau, tidak turun-turun hudjan, jang masa jang serupa ini amat baik buat pergi menangguk ikan (Sim. ‘mandurung’), berangkatlah satu rombongan laki-laki dan perempuan, tua dan muda dari Kampung Bukit jang tidak berapa djauh dari situ, menudju ke sungai dekat pertapaan Tuan Hojong Hataran tadi.
Jang mendjadi ikutan rombongan (pandurung) penangguk ikan tadi ialah puteri Tuan Buhit jang bergelar “Bou Buhit Na Bolag”. Puteri ini rupa dan pembawannja menundjukkan bahwa benar-benarlah ia seorang puteri jang berbangsa. Disegani dan disajangi teman-temanja. Orangtuanja amat sajang kepadanja. Dia anak tunggal, tidak mempunjai adik atau abang.
Di dalam mereka menangguk ikan itu, tidak ada dapat ikan jang ditjari, jang menurut biasanja di tempat itu banjak ikannja. Sehingga rombongan ini merasa ketjewa karena tidak dapat apa-apa dan sudah letih berdjalan, menangguk.
Hari sudah mulai sore dan bermaksud mau kembali ke Buhit. Merekapun istirahat. Tempat istirahat ini sudah dekat benar dengan tempat pertapaan Tuan Hojong Hataran, jaitu Tapian Boru Hojong.
Seorang dari anggota rombongan itu pergi mentjari rotan untuk pengganti gagang tangguk (durung) jang rusak. Tiba-tiba laki-laki tadi terkedjut dan berdiri tak berdaja, karena dilihatnja Tuan Hojong Hataran ada di mukanja dengan kaeraan kurang tertib berpakaian (hanja bobat sadja) dan berambut pandjang. Tuan Hojong Hataran dilihatnja tenang bertapa dan tak menghiraukan akan kedatangannja itu. Ia duduk bersila. Perawakan badannja tegap. Hal ini segera disampaikan oleh laki-laki tadi kepada Tuan Puteri Bou Buhit Na Bolag untuk mengudji kebenaran berita jang disampaikan oleh laki-laki itu, disuruhnja lagi pesuruh lain. Tuan Puteri mendapat laporan serupa, jaitu seorang laki-laki ada di rumpun rotan. Kemudian disuruh lagi utusan seorang lagi, agar laki-laki itu suka datang kepadanja untuk mentjeritakan halnja, mengapa ada di tempat itu. Usaha untuk menjuruh datang ia berhasil, karena laki-laki itu Tuan Hojong Hataran tak berani menampakkan dirinja dalam keadaan berpakaian demikian.
Hal ini dipahami oleh Tuan Puteri maka dengan ichlas diberikanjalah “suri-suri”-nja (kain tenunan Simalungun) untuk dipakai laki-laki itu. Dengan hormat dan sopan barulah Tuan Hojong Hataran berani mendekati puteri Bou Buhit na Bolag serta memberi tahu nama dan hadjat maksudnja di tempatnja. Dan dinjatakannja bila perbuatan serta pekerdjaannja menjalahi hukum adat di daerah itu, rela ia menerimanja.
Dengan mengikuti akan tutur kata dari Tuan Hojong Hataran ini, maka tuan puteri merasa terharu dan terpesona atas butir-butir kata dan gerak-gerik laki-laki itu. Hari bertambah sore. Maka oleh Tuan Puteri telah diambilnja suatu keputusan bahwa ia akan tinggal bersama Tuan Hojong Hataran di tempat itu. Dan semua rombongannja disuruhnja pulang, dan memberi kabar tentang tindakan keputusannja itu kepada orang tuanja Tuan Buhit.
Mendengar perkataan tuan puteri ini semua rombongan ketakutan sebab tuan puteri tinggal dan mereka kembali. Tetapi sebab kata-kata dan perbuatan tuan puteri ini tidak dapat disanggah, harus dipatuhi, maka mereka pun kembali dengan hati tjemas, takut akan akibatnja.
Pesan tuan puteri itu: “Relalah ia bertjerai kepala dengan tubuh bila maksudnja itu dihalangi oleh orangtuanja, artinja tak dapat berpisah dengan Tuan Hoyong Hataran.
Sesudah rombongan tiba di Bukit dan telah diterima Tuan Buhit tentang anaknja tinggal bersama Tuan Hojong Hataran, ia pun djatuh pingsan. Beberapa hari kemudian Tuan Buhit pun meninggal dunia. Maka berkabunglah rakjat di situ, lebih-lebih karena tuan puteri Buhit Na Bolag pun tak ada di situ lagi, maka perasaan duka tjita mereka sangat mendalam.
Sesudah tuan puteri Bou Buhit Na Bolag kawin dengan Tuan Hojong Hataran, maka djadilah tempat itu suatu kampung karena rakjat dari Buhit Na Bolag banjak jang pindah ke sana dan dari tempat-tempat lain.
Karena kebidjaksanaan suami isteri memimpin penghuni kampung itu, maka djadilah Tuan Hojong Hataran kepala di tempat itu dengan didampingi puteri Bou Buhit Na Bolag. Djadilah kampung itu dalam keadaan aman, tenteram, jang diberi nama “Djorlang Hataran”.
Sesudah kira-kira setahun umur negeri itu, maka keluarga itu pun dapat anugerah seorang putera jang diberi nama “Naihomban”. Tahun-tahun berikutja, lahir seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan jang diberi nama “Siduadua”. Terakhir lahir lagi seorang laki-laki jang diberi nama: “Sihojong Madjawa Hataran”. Djadi anak Tuan Hojong Hataran tiga orang laki-laki dan seorang perempuan.
Setelah anaknja jang sulung nama Naihomban dewasa, ia pun dikawinkan dengan puteri Tuan Simarimbun (Panei) dengan atjara adat besar-besaran selama tudjuh hari tudjuh malam.
Adapun akan anak jang kembar dua Siduadua kelakuannja amat menarik hati penduduk dan rupa jang manis, menarik hati setiap orang. Karena indah paras kedua anak kembar ini selalu mendjadi buah tutur kata orang banjak.
Kelakuan anak jang keempat Hojong Hataran Madjawa Hataran serupaja dengan tjita-tjita orang tuanja laki-laki, jaitu hendak merantau sadja, guna menuntut ilmu dan mentjobabakan/mentjebarkan pengetahuan-pengetahuannja. Maksudja ini disampaikannja kepada ibu bapanja. Karena berat rasa hati Tuan Hojong Hataran melepas anaknja jang bungsu, paling ketjil untuk berdjalan sendiri begitu djauh dan tudjuan untuk menuntut ilmu ia pun memutuskan untuk turut mengawasi anaknja, sama-sama pergi. Tudjuan mereka ialah ke tempat matahari terbit. Dengan membawa perbekalan untuk beberapa bulan di djalan dengan menempuh hutan rimba, pada suatu hari tibalah mereka di daerah Radja Sitanggang jang djadi ibu negerinja Radja Maligas. Radja Sitanggang jang djadi kepala di daerah ini terkenal dengan kebidjaksanaannja memutuskan sesuatu persoalan dan tidak mau mangkir atas satu-satu keputusan jang sudah dikelurkan, walau apa pun akibatnja. Perintah tegas/tepat.
Di sinilah Tuan Hojong Hataran membuktikan keahliannja waktu berhadapan dengan Radja Sitanggang.
TERDJADINJA KERAMAT SILAON DI PAMATANG DJORLANG HATARAN
(Anak kembar dari Tuan Hoyong Hataran, seorang laki-laki dan seorang perempuan, 22-7-1963).
(Ditulis ulang dari buku harian Lettu Pens. Tuan Musa Sinaga (Nrp. 184993), halaman 68-81.)