Dr. Rosnidar Sembiring, SH, M.Hum:
HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA HAK ATAS TANAH ADAT DI SIMALUNGUN

Buku Hukum Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah Adat Di Simalungun oleh Dr. Rosnidar Sembiring, SH.M.Hum
Neosimalungunjaya.com – Masyarakat Simalungun patut berterimakasih kepada Dr. Rosnidar Sembiring, SH, M.Hum atas telah terbitnya buku tentang: HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA HAK ATAS TANAH ADAT DI SIMALUNGUN. Buku ini sangat penting bagi kita karena merupakan hasil kajian akademik atas keberadaan TANAH ADAT DI SIMALUNGUN dan PERMASALAHAN SENGKETA ATAS TANAH ADAT DI SIMALUNGUN.
Di satu sisi, keberadaan Tanah Adat yang ada di Simalungun hingga saat ini belum dilirik oleh organisasi kemasyarakatan Simalungun agar dijadikan sebagai Benteng Kebudayaan Simalungun yang bisa diandalkan, bahwa sesungguhnya kebudayaan Simalungun bukanlah ”berdiam bertempat tinggal” di atas panggung, sesungguhnya adalah di atas atau sekitar Tanah Adat itu. Selanjutnya mari kita baca lebih lanjut buku yang berharga ini…
Yang berminat silahkan pesan langsung ke PENULIS (WA): 082276652631
HARGA: Rp 100.000,-
SINOPSIS
“Secara historis van Vollen Hoven menyatakan ada 19 (sembilan belas) lingkaran hukum adat yang antara lain adalah: Tanah gayo – Alas dan Batak beserta Nias. Batak (Tapanuli Utara/Selatan/Tengah) Karo, dan Simalungun. Tapanuli mengenal hak ulayat (Golat) otomatis Simalungun juga mengenal hak ulayat (Hak Partuanon).
Terhadap tanah adat terjadi sengketa, sengketa bukan suatu dialektis. Perkembangan sengketa pertanahan secara kuantitas maupun kualitas selalu mengalami kenaikan, bahkan di seluruh wilayah Indonesia. Khusus di Kabupaten Simalungun, sengketa yang berkaitan dengan hak dan tanah adat banyak terjadi, namun ada 4 (empat) kasus besar yang dianalisis dalam buku ini, yaitu:
- Sengketa Hak Atas Tanah adat di Desa Bangun Dolog, kelurahan Parapat, Kecamatan Panei, kabupaten Simalungun.
- Sengketa Hak Atas Tanah Adat Masyarakat Silampuyang.
- Sengketa Hak Atas Tanah Adat pada Masyarakat Kebun Bangun (kasus Tanjung Pinggir), klaim pelepasan eks HGU PTPN III Kebun bangun, Kota Pematangsiantar.
- Sengketa Hak Atas Tanah Adat antara Masyarakat dan Perkebunan Bandar Bersy.
Faktor penyebab timbulnya sengketa: faktor historis, faktor hukum, dan non hukum. Belanda menerapkan hukum Barat terhadap sistem penguasaan tanah-tanah di Indonesia sesuai kepentingan penjajah, justru ini melemahkan sendi-sendi hukum adat dan memicu sengketa di antara warga masyarakat. Faktor hukum yang saling kontradiksi, tumpang tindih kewenangan, administrasi pertanahan yang kurang baik. Penyelesaian sengketa hak atas tanah adat di Kabupaten Simalungun antara lain secara non ligitasi, seperti: musyawarah mufakat, penyelesaian sengketa melalui Instansi Badan Pertanahan Nasional. Bahkan berdasarkan penelitian ini, ditemukan desa tanpa sengketa tanah yaitu Desa Sipoldas dan Desa bangun Das Meriah.”
Perpustakaan Nasional RI: Katalog dalam Terbitan (KDT)
Penyusun: Dr. Rosnidar Sembiring, SH, M.Hum
HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA HAK ATAS TANAH ADAT DI SIMALUNGUN/Dr. Rosnidar Sembiring, SH, M.Hum,
Cetakan Pertama – Padang:
CV Dharma Persada, 2007
15,5 x 23cm2; halaman xi + 420
ISBN 978-602-71322-5-4
———————————————————————————————————————————————-