Tortor Balang Sahua dalam Tranformasi Gerak,
Hasil Koreografi Oppung Raminah Garingging
Penulis: Sultan Saragih,
Bekerja di Kajian Budaya Rayantara
Pergelaran tortor Balang Sahua – tari Belalang Sembah, yang telah kami tampilkan di Balei Bolon Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS), jalan Pdt. J. Wismar Saragih, tanggal 1 Oktober 2016 kemarin, dalam acara Seminar Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba yang diselenggarakan oleh Yayasan Peduli Pendidikan Marsiurupan (YPPM), bukanlah yang perdana. Meski kami baru memperkenalkan tortor tersebut di awal tahun 2016, setelah 50 tahun terpendam dalam ingatan Oppung Raminah Garingging (86). Tortor tersebut masih dalam tahap penyempuranaan sampai sepasang Balang Sahua dapat bersama-sama menarikannya secara padu, jenaka dan dinamis.
Oppung Raminah Garingging sering menceritakan pengalaman uniknya kepada kami, ketika ia masih tinggal di Bah Tonang, kabupaten Simalungun, provinsi Sumatera Utara, sebuah desa dengan jarak hanya 1 jam perjalanan dari kota Pematang Siantar. Ketika itu, sekitar tahun 1960-an, pekerjaannya sebagai peladang masih menyediakan waktu luang yang mesti ia isi dengan hiburan hasil kreativitas sendiri. Suatu ketika, masih siang hari, usai ‘membolak-balik tanah’ dengan cangkul agar tanah lebih gembur, perhatiannya tertuju kepada Balang Sahua – belalang sembah, binatang bertubuh kecil berwarna hijau dengan anggota badan seperti lidi yang ramping, mereka berdua lama saling memandang.
Oppung Raminah Garingging kemudian meninggalkan cangkulnya, ia bergegas mendekat, matanyanya tetap fokus memperhatikan tingkah laku Balang Sahua sambil tertawa geli, karena gerakan binatang tersebut lucu, kerap mengusap-usap kedua tangannya ke wajahnya.
Ia binatang cerdas, mampu menirukan semua gerakan yang kita minta,” ceritanya. Anak anak kampung sering kali menangkap, kemudian menanyakan lokasi sebuah tempat agar ditunjukkan di mana arahnya. Tak heran jika permainan dengan Balang Sahua adalah salah satu pilihan favorit anak-anak ketika itu.
“Dimana Medan?”
“Balang Sahua akan segera memutar arah dan memperlihatkan kota Medan dengan telunjuk tangannya,” lanjut Oppung.
Pertemuanku (Sultan Saragih) dengan Oppung Raminah Garingging, bermula dari permintaan panitia Pergelaran Taman Budaya Sumatera Utara kepada Sanggar Budaya Rayantara untuk menampilkan sebuah tortor, tarian khas suku Simalungun yang jarang diperlihatkan yaitu “Imbou Manibung” – sebuah tarian yang menirukan gerakan Mawas ketika mereka bersuara (khas) bersahut-sahutan – yang telah diadakan di Taman Budaya Medan, Sumatera Utara tahun 2013 silam.
Saya pernah menceritakan kepada Oppung Raminah Garingging, bahwa Oppung Obot Sipayung, salah seorang pelaku tradisi yang menekuni dihar – pencak silat khas Simalungun, yang pernah menunjukkan tortor Balang Sahua ketika latihan bersama di halaman rumahnya, kampung Gurilla, Pematang Siantar, kabupaten Simalungun. Namun menurut Oppung Raminah Garingging kedua tortor tersebut berbeda dasar-dasar gerakannya.
“Aku mengajarkan jenis gerakan tortor Balang Sahua yang berbeda, gerakan ini dari pengalaman pribadi. Lahir ketika aku terbiasa menirukan gerakan binatang lucu tersebut di ladang. Jadi tortor Balang Sahua yang ini dasarnya bukan dihar,” jelas Oppung Raminah Garingging untuk membedakan kedua jenis tortor tersebut.
Kami lalu berdiskusi, melatih beberapa gerakan, mencari jenis gual yang tepat, berdiskusi lagi, ia masih mampu membuka kembali ingatannya yang mengendap selama 50 tahun dari sebuah kampung bernama Bah Tonang, sebagai inspirasi mula koreografi tortor Balang Sahua. Aku pun memperhatikan dengan tekun, ia menambah alur koreografi dengan senda gurau, di mana tokoh Belalang Sembah tersebut dari kejauhan terbang mencari pasangannya di ladang. Ia tertawa, menangis, melakukan gerakan pesona, menirukan banyak gerakan, mencangkul, membujuk dengan mulut komat kamit seperti menggigit daun.
Simalungun kaya dengan tradisi. Terkadang aku tertegun sendiri melihat gerakannya yang sudah memasuki usia senja. Kemudian timbul pertanyaan di dalam hati, “Mengapa generasi muda tidak banyak yang mau belajar dan menggali tortor langka yang masih terpendam? Tanpa kusadari perlahan air mataku mengalir. Sebuah pertanyaan yang mesti kujawab dan kumulai sendiri.
Dalam kisah itu, Balang Sahua pun akhirnya terbang merentangkan sayap setelah mendapatkan pasangannya. Kami sadar bahwa tortor tersebut akan sempurna jika dapat dilakukan oleh sepasang penari. Buat sementara kami berhasil menemukan jenis gual gonrang – musik tradisional khas Simalungun, yang berjudul Gonrang Pokahpokah yang cocok untuk tortor usihan, tari yang bersifat peniruan gerakan binatang dan lain sebagainya. Gonrang Pokahpokah sepertinya tepat digunakan untuk jenis gerakan improvisasi, ritme dan jiwanya terdengar pas untuk gerakan Balang Sahua. Setelah lama berlatih, kami pun turun dari panggung, saatnya pulang…
Sang Balang Sahua mengajarkanku untuk cerdas mendulang waktu, tekun berlatih dan menimba ilmu manortor, menari Simalungun. Sebab masih banyak seni tradisi yang belum diungkap dan diperlihatkan kembali. (editor: DEP)