Pemkab Simalungun Boros dan Tidak Ada Sense of Urgency
oleh: Rikanson Jutarmadi Purba
SUDAH sejak lama kita mempertanyakan cara-cara Pemkab Simalungun dalam menggunakan dana APBD-nya. Ketika kurang lebih 70% APBD-nya hanya membelanjai birokrasi, sehingga tak tampak pemihakan kepada kepentingan masyarakat banyak.
Kita telah menggugat pembangunan rumah dinas bupati yang baru, senilai Rp 8,7 M yang mendahului perda, sementara rumah dinas lama masih layak pakai dan banyak ruang kantor yang kosong tak difungsikan.
Pedestrian sekeliling kantor bupati yang baru pun entah apa urgensinya. Dan kini, ada pula berita bahwa pangulu-pangulu ikut bimtek (bimbingan teknis) dan –KONON KATANYA– studi banding ke Bandung dengan dana APBD (ini terkonfirmasi oleh pejabat BPMPN) sebesar Rp 1,7 M.
Entah berapa pula biaya yang dikeluarkan dari APBD untuk membelanjai jalan-jalan anggota DPRD Kab. Simalungun ke Bali baru-baru ini. Untuk dua item tersebut di atas saja, dana APBD yang dibelanjakan sudah mencapai Rp 10,4 M yang –kalau saja diwujudkan dalam bentuk jalan raya– setara 10,4 km jalan aspal yang mulus sekali.
Kita patut menduga, cara-cara semacam ini hanya untuk dapat membancak/menggangsir anggaran. Mereka telah kehilangan “sense of urgency” (tak bisa membedakan mana yang MENDESAK harus segera dibenahi [misal: infrastruktur], mana yang penting tapi masih bisa ditunda atau dicari cara lain yang lebih efisien dan efektif, mana yang tidak mendesak, dan mana yang tidak penting sama sekali.
Datangkan saja ahli atau pejabat dari Bandung itu, bayar dengan memadai, dan minta para pangulu fokus mengikuti bimtek itu. Istilah pasarannya: “drill habis” mereka itu di sini, niscaya biayanya tak sampai Rp 1,7 M.
Bukannya e-Government yang diupayakan habis (“ipar-pala-palai”), melainkan mana saja yang bisa dibancak/digangsir.
Inilah pemerintah daerah yang “nengel” – tuli, “jugul” – keras kepala, dan inefisien dan inefektif, serta cenderung korup.
Oppot gelah…! –
Baca juga: